Pengalaman Kementerian Keuangan Mencegah Korupsi dengan Mendiagnosis Kesehatan Organisasi

by | Oct 11, 2017 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Kita sebenarnya sudah jenuh dengan maraknya berita buruk (bad news) berbagai penangkapan pejabat publik dan swasta di Indonesia karena tindak korupsi. Berbagai pendekatan juga telah disampaikan untuk mencegah korupsi ini. Sayangnya, pendekatan tersebut kurang memperhatikan konteks lokal. Praktisi dan akademisi Indonesia terlalu latah menyerap strategi pemberantasan korupsi dari negara lain yang belum tentu cocok dengan konteks lokal masing-masing organisasi publik di Indonesia. Karenanya, artikel ini mencoba menawarkan pendekatan lain mencegah korupsi, yaitu dengan mendiagnosis kesehatan organisasi’. Diagnosis kesehatan organisasi ini sangat berbasis konteks lokal karena ia didiagnosis langsung oleh pegawai di dalam organisasi. Keberhasilan mencegah korupsi dengan diagnosis kesehatan organisasi ini juga sudah dibuktikan di sebuah organisasi bergengsi negeri ini, yaitu Kementerian Keuangan.

 

Korupsi di Indonesia tercinta, fenomenanya, seperti penyakit menular yang menjangkiti birokrasi setiap rezim pemerintahan. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi. Fakta banyak tertangkap tangannya pejabat publik dan swasta menegaskan bahwa korupsi masih menjadi momok yang mengganggu kelangsungan kehidupan berbangsa.

Bahkan, banyak pihak mengatakan berbagai operasi yang dilakukan KPK belum menimbulkan efek jera yang dapat menghentikan perilaku koruptif, baik di pusat maupun daerah. Pertanyaan yang selalu menggelitik adalah: Apakah sebenarnya yang menyebabkan mereka melakukan korupsi? Apakah hanya masalah kebutuhan atau gaya hidup? Lalu, bagaimana mencegahnya?

Korupsi dan Faktor Penyebabnya

Apabila disederhanakan, penyebab  korupsi meliputi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari diri pribadi, sedangkan faktor eksternal berasal dari luar diri pribadi.

Faktor internal terdiri dari lemahnya keimanan, rendahnya kejujuran, kurangnya rasa malu, dan  kecenderungan konsumtif. Faktor eksternal lebih luas lagi, yaitu faktor ekonomi, politik, hukum, dan sosial.

Secara konseptual, Donald R. Cressey (1950) mengenalkan penyebab korupsi atau kecurangan (fraud) sebagai Fraud Triangle pada Gambar berikut.

Cressey mengungkapkan bahwa ada tiga penyebab utama yang mendukung seseorang melakukan kecurangan, yaitu tekanan (pressure), peluang (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization).

Tekanan adalah sebuah dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan kecurangan. Ia bisa dalam bentuk hutang atau tagihan yang menumpuk, gaya hidup mewah, dan ketergantungan narkoba. Saya tidak perlu memberikan contoh di sini karena saya rasa begitu banyak kita melihatnya di media.

Kesempatan adalah peluang yang dapat kita pahami sebagai situasi dan kondisi yang ada pada setiap orang atau individu. Situasi dan kondisi tersebut memungkinkan seseorang bisa berbuat atau melakukan kegiatan yang memungkinkan kecurangan terjadi.

Biasanya, kesempatan ini muncul karena pengendalian internal yang lemah dan kurangnya pengawasan. Seseorang tanpa tekanan dapat melakukan kecurangan dengan adanya kesempatan ini.

Sebagai contoh, Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti yang tertangkap  KPK pada kasus proyek pembangunan jalan di Kabupaten Rejang Lebong dikenal sebagai orang yang berprestasi dan berkelakuan baik. Artinya, tekanan tidak menjadi faktor pendorong ia berkorupsi. Namun, lemahnya pengendalian internal menjadikannya memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi.

Rasionalisasi dapat diartikan sebagai tindakan mencari alasan pembenaran oleh orang-orang yang merasa dirinya terjebak dalam suatu keadaan yang buruk. Pelaku akan mencari alasan untuk membenarkan kejahatan agar tindakan yang sudah dilakukannya dapat diterima oleh masyarakat.

Secara tidak langsung, rasionalisasi digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan norma. Salah satu kasus yang dapat dijadikan contoh adalah penangkapan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Antonius Tonny Budiono.

Ia mengumpulkan dan menerima gratifikasi yang menurutnya uang tersebut berasal dari Tuhan. Artinya, ia menjustifikasi gratifikasi yang diperolehnya adalah sah karena berasal dari Tuhan. Dengan kata lain, diterimanya gratifikasi ini dianggap sebagai proses yang diatur oleh Tuhan untuk dirinya dalam mendapatkan rezeki.

Contoh lain adalah anggota DPR dari Partai Golongan Karya Aditya Anugrah Moha menyuap Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara Sudiwardono agar ibunya, mantan Bupati Bolaang Mongondow Marlina Moha Siahaan, divonis bebas dari tuntutan korupsi.

Langkah-Langkah Pencegahan Korupsi

Beberapa pihak telah mengusulkan solusi atas permasalahan korupsi di negeri ini. Masing-masing solusi itu bisa dipetakan berdasarkan penyebab Fraud Triangle sebagaimana tampak pada Tabel berikut.

Penyebab

Solusi

Tekanan
  • Penyederhanaan sistem rekrutmen ASN untuk mengurangi dampak biaya tinggi.
  • Larangan rotasi jabatan dalam jangka waktu tertentu pasca Pilkada.
  • Penetapan mekanisme dan kriteria pola pengisian/mutasi jabatan berbasis kompetensi yang memadai.
Kesempatan
  • Penguatan fungsi perencanaan melalui kegiatan partisipasi perumusan program/kegiatan yang lebih intensif dengan melibatkan para stakeholder.
  • Melakukan modernisasi pengadaan baik di pusat dan daerah.
  • Penerapan manajemen kinerja realisasi program dan kegiatan dengan indikator keluaran yang jelas.
  • Reformulasi dan penguatan kelembagaan institusi pengawasan.
  • Penataan kembali hubungan pusat dan daerah.
Rasionalisasi
  • Penguatan kesehatan organisasi
  • Penguatan budaya birokrasi

Sumber: Diolah oleh penulis dari berbagi sumber.

Penilaian Kesehatan Organisasi

Dari berbagai penyebab di Fraud Triangle tadi, yang paling berbahaya adalah rasionalisasi. Sebab, ia bisa memicu budaya organisasi yang tidak sehat. Rasionalisasi dapat secara tidak sadar menumbuhkan praktik ‘membenarkan yang biasa, bukan membiasakan yang benar’.

Contoh kasus di Sulawesi Utara tadi, yaitu menyuap hakim demi menyelamatkan ibu tercinta dari hukuman karena melakukan korupsi, akan ‘membenarkan yang biasa’, yaitu kebiasaan menyuap demi pengabdian anak kepada ibunya.

Karenanya, tulisan ini akan fokus pada rasionalisasi ini. Sebab, ‘membenarkan yang biasa, bukan membiasakan yang benar’ telah menimbulkan penyakit kronis di berbagai organisasi publik di Indonesia. Idealnya, kita menuju ‘membiasakan yang benar dan bukan membenarkan yang biasa.

Salah satu cara mengatasi rasionalisasi korupsi adalah dengan mendiagnosis kesehatan organisasi (organisational health) secara reguler, sebagaimana kita secara rutin melakukan general medical check up ke dokter. Bedanya, kesehatan organisasi bisa didiagnosis oleh diri kita sendiri dengan berbagai ukuran yang telah dikembangkan.

Sebagai contoh, Kementerian Keuangan telah melakukan diagnosis kesehatan organisasi sejak lama. Diagnosis kesehatan organisasi Kementerian Keuangan dimulai tahun 2013. Pada tahun 2014, alat diagnosis kesehatan organisasi ini ditingkatkan kehandalannya dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523 tahun 2014.

Diagnosis kesehatan organisasi Kementerian Keuangan mengacu pada  metodologi yang dikembangkan oleh Keller dan Price (2011). Diagnosis ini mengelompokkan kesehatan organisasi dalam 3 cluster utama, yaitu:

  • Keselarasan internal (arahan, kepemimpinan, budaya dan iklim kerja, kreativitas dan kewirausahaan);
  • Kualitas pelaksanaan (akuntabilitas, koordinasi dan pengendalian, kapabilitas, dan motivasi); dan
  • Kapasitas pembaharuan (orientasi eksternal, inovasi, dan pembelajaran).

Kementerian Keuangan paling tidak telah melakukan diagnosis kesehatan organisasi setiap dua tahun sekali. Artinya, tidak berbeda jauh sebagaimana saran dokter untuk mereka yang umurnya di atas 30 tahun perlu melakukan general medical check secara reguler setiap dua tahun sekali.

Diagnosis kesehatan organisasi Kementerian Keuangan tahun 2013 sampai 2015 dilakukan dengan menyebarkan kuesioner secara online ke para pegawai yang diseleksi secara acak. Memang, Kementerian Keuangan tidak secara langsung mendiagnosis organisasinya secara langsung, tetapi dengan melihat dari rata-rata kesehatan organisasi eselon I yang berada di bawah binaannya.

Ibaratnya, kesehatan organisasi Kementerian Keuangan itu dilihat dari mendiagnosis kesehatan setiap anggota peleton. Ia bukan secara langsung melihat kesehatan keseluruhan peleton sebagai sebuah sistem (a whole system), tetapi mengambil simpulan dari rata-rata kesehatan setiap anggota peleton tadi sebagai bagian-bagian (parts) dari sebuah sistem. Artinya, masih ada keterbatasan di sini karena sebuah sistem idealnya mesti dilihat tidak sekedar dari agregasi bagian-bagian sebuah sistem (a system is more than the sum of its parts).

Jelasnya, pada proses diagnosis ini, para observer, dalam hal ini para pegawai di Kementerian Keuangan yang terseleksi secara acak, akan diminta mendiagnosis kesehatan masing-masing organisasi eselon I-nya dan bukan secara langsung kesehatan organisasi Kementerian Keuangan secara keselurahan (as a whole).

Hasil diagnosis ini telah menghasilkan skor kesehatan masing-masing organisasi eselon I tahun 2013-2015 pada Gambar berikut.

Skor Kesehatan Organisasi Eselon I Kementerian Keuangan Tahun 2013-2015.

Sumber: Website Kementerian Keuangan.

Secara keseluruhan, seluruh organisasi eselon I mengalami penurunan kesehatan pada tahun 2015 dibandingkan tahun 2014. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh perbedaan pada metodologi diagnosis, terutama pada butir-butir ukuran dan pemilihan observer, antar tahun tersebut.

Walaupun demikian, menariknya, jika dibandingkan antar organisasi eselon I ini, DJKN dan DJPB adalah organisasi eselon I yang selalu paling sehat, sementara DJA adalah organisasi eselon I yang cukup sehat, tetapi nilai kesehatannya selalu paling rendah. Hasil diagnosis ini sangat menarik untuk menjadi kajian lebih lanjut.

Pada tahun tahun 2016 Kementerian Keuangan tidak melakukan diagnosis kesehatan karena tahun tersebut digunakan untuk melaksanakan rekomendasi hasil diagnosis tahun-tahun sebelumnya. Rencananya, diagnosis kesehatan organisasi Kementerian Keuangan akan dilakukan lagi pada tahun 2017 ini.

Hasil diagnosis kesehatan organisasi ini kemudian dianalisis dan dibahas secara lebih mendalam di dalam serangkaian focus group discussion (FGD) dengan perwakilan pejabat dan pelaksana dari masing-masing organisasi eselon I. Berdasarkan hasil analisis tersebut, kemudian disusun rencana jangka pendek berupa kegiatan tindak lanjut peningkatan kesehatan organisasi Kementerian Keuangan untuk diimplementasikan pada tahun selanjutnya.

Salah satu langkah penting hasil diagnosis kesehatan organisasi tersebut adalah munculnya ‘Inisiatif Strategis’ untuk kepentingan strategi reformasi Kementerian Keuangan tahun 2017. Sebagai contoh, dalam inisiatif ini dimasukkan program penguatan budaya organisasi sebagai jantung perubahan organisasi. Dalam program penguatan budaya ini juga diintegrasikan gerakan efisiensi.

Walaupun belum dilakukan pengujian secara empirikal, kemungkinan besar diagnosis kesehatan organisasi inilah yang membuat Kementerian Keuangan tampak semakin ‘menawan’ dan ‘ciamik’. Berita-berita buruk terkait korupsi pegawainya di masa lalu juga semakin menurun secara drastis. Artinya, berita baiknya, kita masih memiliki harapan bahwa korupsi di Indonesia bisa dikurangi sepanjang kita melakukan pencegahan korupsi yang berbasis konteks lokal. Salah satunya adalah dengan diagnosis kesehatan organisasi.***

 

 

0
0
Lucky Akbar ◆ Professional Writer and Active Poetry Writer

Lucky Akbar ◆ Professional Writer and Active Poetry Writer

Author

Jabatan sebagai Kepala Bagian Pemindahtanganan dan Penghapusan Barang Milik Negara pada Biro Manajemen BMN dan Pengadaan, Sekretariat Jenderal Kemenkeu tidak menghalanginya untuk terus menulis.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post