Menyelamatkan Lembaga Keagamaan dari Pragmatisme, Oligarki, dan Superioritas Uang Melalui Reformasi Manajemen Pengadaan Barang/Jasa

Menyelamatkan Lembaga Keagamaan dari Pragmatisme, Oligarki, dan Superioritas Uang Melalui Reformasi Manajemen Pengadaan Barang/Jasa

Bangsa Indonesia sedang dicengkeram oleh kekuatan pragmatisme, kekuatan oligarki, dan superioritas uang dalam setiap aspek kehidupan bernegara. Dari situlah timbul kasus-kasus korupsi, mega-skandal, kejahatan kerah putih, dan pelanggaran HAM berat. Ternyata reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 belum mampu mengubah bangsa ini menjadi semakin baik. Hampir semua lembaga terjerumus ke dalam pusaran skandal itu, termasuk lembaga-lembaga keagamaan yang dihuni oleh kaum agamawan.

Salah satu diantaranya adalah Kementerian Agama. Kementerian Agama adalah lembaga keagamaan sektor publik yang sangat khas karena berisi kumpulan orang-orang yang berlatar belakang pendidikan agama. Namun sayangnya, lembaga ini tercoreng citranya karena sebagian birokratnya belum mampu menjaga integritasnya sebagai lulusan pendidikan tinggi agama.

Ada beberapa kasus korupsi yang mendera lembaga ini dalam kurun waktu antara tahun 2010 hingga 2014, yaitu (1) Pengadaan perlengkapan laboratorium tahun anggaran 2010; (2) Pengadaan Kitab suci Al Qur’an tahun anggaran 2011 dan 2012; (3) Proyek haji dan dana abadi umat tahun anggaran 2012 2013; (4) Pengadaan buku tahun anggaran 2012; dan (5) Penyalahgunaan anggaran di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam pada tahun anggaran 2014.

Jika kita mengenang peran agamawan di masa perjuangan kemerdekaan dulu, maka kita pasti akan merasa terpukul. Dulu para agamawan kita berjuang mewujudkan kemerdekaan dengan sungguh-sungguh. Para agamawan sekaligus birokrat di masa lalu itu lebih karismatik dan jauh dari profit oriented. Dengan jiwa nasionalisme dan militansi, mereka mempersatukan rakyat, memperjuangkan kemerdekaan, dan memberi makna pada Republik Indonesia yang saat itu baru merdeka. Namun oknum-oknum agamawan yang sekarang bekerja mengurusi agama justru melakukan perbuatan nista.

Jika kita menelaah lebih jauh, sumber penyebab banyaknya kasus korupsi di lembaga keagamaan ini sebagian besar berasal dari kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah. Hal itu menjadi masuk akal karena pengadaan barang/jasa adalah kegiatan yang memerlukan keahlian khusus sehingga tidak bisa dilaksanakan oleh orang yang tidak memiliki keahlian tersebut.

Pengadaan barang/jasa adalah kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang hanya memiliki keahlian untuk itu. Agama juga mengajarkan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan oleh yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. Maraknya tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang/jasa di lembaga keagamaan disinyalir disebabkan kurangnya keahlian para agamawan yang ditunjuk sebagai pengelola pengadaan di bidang pengadaan barang/jasa.

Para pelaku dalam proses pengelolaan — sejak identifikasi kebutuhan sampai dengan serah terima hasil pekerjaan — pengadaan barang/jasa memerlukan pengorganisasian yang dilakukan oleh orang yang kompeten. Mereka itu adalah Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

PA/KPA bertugas dan berfungsi sebagai perencana pengadaan barang/jasa sejak identifikasi kebutuhan, penyusunan kerangka acuan kerja, pemaketan pekerjaan hingga diumumkannya rencana umum pengadaan.

Namun, di lembaga keagamaan ini PA/KPA tidak dibekali keahlian secara khusus tentang bagaimana merencanakan pengadaan barang/jasa. Pengangkatan seorang PA/KPA, sesuai Perpres 54 Tahun 2010, tidak disyaratkan harus memiliki sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa jika yang bersangkutan pejabat eselon II dan eselon I.

Maka tidak mengherankan jika kemudian banyak PA/KPA yang akhirnya terjerat kasus tindak pidana korupsi. Mereka bahkan baru mengetahui perbuatannya itu dikategorikan sebagai korupsi setelah menjalani persidangan di pengadilan tipikor.

Hal yang sama juga dialami oleh PPK. Di lembaga keagamaan tersebut PPK adalah pejabat struktural yang dikondisikan dengan sebuah aturan yang memaksanya harus merangkap/menjalankan fungsi manajemen kontrak pengadaan. Bertolak belakang dengan ketentuan yang berlaku, di lembaga keagamaan ini kompetensi di bidang pengadaan barang/jasa juga tidak menjadi syarat penunjukkan seseorang sebagai PPK. Akibatnya, PPK tidak tahu bagaimana menjalankan fungsinya dengan benar dan tidak menyadari dampak atau resiko pekerjaannya.

Itulah kondisi yang dihadapi oleh lembaga keagamaan kita. Sangat dimungkinkan agamawan yang tidak memiliki keahlian dalam bidang pengadaan barang/jasa itu terjebak dalam konspirasi dengan pihak lain terkait kasus korupsi pengadaan barang/jasa di lembaga keagamaan ini. Di tengah kekuatan pragmatisme, kekuatan oligarki, dan superioritas uang dalam setiap aspek kehidupan kenegaraan sangat disayangkan apabila agamawan justru ikut larut di dalamnya, baik secara sadar maupun tidak sadar.

Bagaimana mengembalikan peranan agamawan yang juga birokrat yang nasionalis dan militan? Menurut saya cukup dengan melakukan reformasi pengadaan barang/jasa di lingkungan lembaga keagamaan. Reformasi di area ini sangat mendesak dilakukan karena pengadaan barang/jasa mempunyai peran penting dalam mendukung peningkatan kinerja pelayanan publik, termasuk dalam urusan keagamaan.

Reformasi pengadaan barang/jasa yang saya maksudkan adalah upaya memformat ulang bagaimana pola pengadaan barang/jasa di lingkungan lembaga keagamaan itu dilaksanakan. Untuk itu, pengadaan barang/jasa di lembaga keagamaan ini harus diserahkan kepada ahlinya.

Sebenarnya SDM pada lembaga keagamaan ini sudah banyak yang memiliki sertifikat ahli pengadaan yang disertifikasi oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LKPP). Namun, SDM pengadaan barang/jasa yang bersertifikat tersebut belum dimanfaatkan secara optimal.

Alih-alih merekrut para birokrat dengan pendidikan keagamaan yang telah bersertifikat untuk mengelola pengadaan barang/jasa, dalam praktiknya justru diserahkan kepada personil yang belum memiliki sertifikat keahlian. Pengelolaan pengadaan barang/jasa masih dilakukan secara adhoc, bahkan bisa berganti-ganti personilnya setiap tahun, serta masih rawan mengalami benturan kepentingan (conflict of interset) dan intervensi. Mereka juga masih banyak yang merangkap jabatan lain sehingga tidak fokus dalam bekerja.

Agar pengadaan barang/jasa berjalan secara efektif, pengelola pengadaan barang/jasa perlu ditunjuk untuk jangka waktu tertentu atau permanen, berupa struktur yang mandiri/independen dari pengaruh kepentingan dan intervensi, personilnya memiliki kemampuan dan kompetensi berjenjang sesuai kualifikasi(bersertifikasi) sehingga profesionalitas lebih terjamin dan terukur, serta tidak merangkap jabatan lainnya sehingga lebih fokus dalam bekerja. Selain itu  akumulasi keahlian, pengalaman, dan keterampilan pelaksana akan menjadi lebih efektif, dan peningkatan karier di bidang pengelolaan pengadaan barang/jasa dapat lebih terjamin.

Lebih jauh, untuk mencegah agamawan terkena noda kesalahan pengadaan barang/jasa yang berujung pada tindak pidana korupsi, agamawan yang sebelumnya bertindak sebagai PA diposisikan hanya sebagai perencana kebutuhan dan pengguna barang/jasa. Untuk pelaksanaan pengadaan barang/jasa selanjutnya dilakukan oleh unit kerja pengadaan/agen pengadaan tersendiri yang berperan mendukung peningkatan pelayanan agamawan bagi masyarakat pengguna layanan.

Unit kerja pengadaan/agen pengadaan ini adalah unit kerja yang menjadi pusat pengadaan barang/jasa yang melaksanakan sebagian atau seluruh pekerjaan pengadaan barang/jasa yang dipercayakan. Organisasi tersebut merupakan struktur independen yang memiliki tugas mengelola pengadaan barang/jasayang selama ini dipraktikkan oleh lembaga keagamaan ini.

Selain itu, organisasi ini juga mengelola fungsi layanan pengadaan secara elektronik (LPSE), membina SDM dan kelembagaan pengadaan barang/jasa, melaksanakan pendampingan, konsultasi, dan/atau bimbingan teknis, serta melaksanakan tugas lain yang diberikan berkaitan dengan tugas dan fungsinya.

Jadi, mereformasi pengadaan barang/jasa di lingkungan lembaga keagamaan berarti menyerahkan proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa untuk memenuhi kebutuhan lembaga keagamaan dalam menjalankan tugas dan perannya kepada unit kerja pengadaan/agen pengadaan yang independen dan perlunya ULP menjadi jabatan struktural tersendiri.

Menuntut agamawan untuk menduduki jabatan sebagai pengelola pengadaan barang/jasa sama artinya memberikan kemungkinan agamawan terseret pada pusaran masalah pengadaan barang/jasa, di tengah-tengah kekuatan pragmatisme, kekuatan oligarki, dan superioritas uang.

Agamawan tidak perlu dituntut untuk berada pada posisi yang bukan menjadi keahliannya, tetapi cukup sebagai pemersatu, penjaga nilai kejuangan mempertahankan kemerdekaan, dan memberi makna kepada kemerdekaan. Dalam konteks itulah, peran agamawan seperti itu menjadi penting dan sangat mendesak untuk dilakukan.

Kita semua merindukan lembaga-lembaga keagamaan kembali memainkan peranan seperti saat perjuangan kemerdekaan dahulu, yaitu menyatukan Indonesia yang saat ini dirasakan mulai retak,  mengembalikan kekuatan idealisme, dan nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

 

0
0