Taubatan Nasuha Para Birokrat  Akan Bermakna Kemenangan

Taubatan Nasuha Para Birokrat Akan Bermakna Kemenangan

Hari raya Idul Fitri adalah hari kemenangan. Teristimewa bagi para birokrat yang berhasil menundukkan hawa nafsunya dengan menjalankan Ibadah puasa di bulan Ramadhan. Inilah hari yang dinanti setelah sebulan berjuang melawan dahaga, lapar, dan hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa.

Perilaku keseharian birokrat yang telah menggenggam kemenangan seharusnya mencerminkan ketaatan dan kesalehan. Kesalehan sebagai implementasi keyakinan dan amalan, yang terkristal menjadi kebaikan akhlak.

Akan tetapi, menjelang detik-detik terakhir Ramadhan, kabar menyesakkan dada justru bermunculan. Operasi tangkap tangan KPK terhadap sejumlah birokrat, baik dari kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, merupakan paradoks yang luar biasa.

Sejurus dengan tulisan sahabat saya M. Sudarno tentang “Parodi THR“, diperlukan upaya ekstra keras dari segenap pemangku kepentingan republik ini. Dibutuhkan usaha nyata, tidak sekedar pencitraan atau slogan-slogan semu, dalam memberantas perilaku-perilaku menyimpang (koruptif) di  dalam ekosistem birokrasi.

Materialisme kolektif sebagai akar masalah

Tidak dapat dipungkiri, di dalam masyarakat kita, termasuk dari kalangan birokrat, mayoritas orang tua bercita-cita atau mengharapkan anak-anaknya menjadi pribadi yang sukses. Sayang sekali, ukuran kesuksesan tersebut masih didominasi dengan kesuksesan materi, baik berupa pangkat, jabatan maupun harta.

Walaupun ada segelintir orang yang sudah mulai bertransformasi kepada kesuksesan hakiki, tetapi mayoritas orang masih terpaku kepada parameter “duniawi” tersebut. Yang namanya sukses itu kalau pangkatnya tinggi. Yang namanya berhasil itu kalau jabatannya bergengsi. Yang namanya makmur itu kalau hartanya melimpah. Yang namanya terhormat itu kalau bisa bagi-bagi THR atau amplop di hari raya.

Materi memang dibutuhkan dalam menjalani kehidupan. Akan tetapi, ketika bermetamorfosis menjadi materialisme maka akan membelenggu jiwa para pekerja birokrat. Lebih parah lagi, ketika paham materialisme ini semakin tertanam di dalam sebuah komunitas, maka akan memunculkan materialisme secara kolektif.

Mengutip tulisan Emha Ainun Nadjib, berjudul Agamaterialisme, yang menyindir para penganut materialisme dalam sebuah paragraf:

Kehilangan martabat kemanusiaan tak masalah, asal tetap punya pekerjaan, bisa menghidupi keluarga dan memastikan kemakmuran. tidak punya harga diri pribadi, harga diri kemasyarakatan dan kebangsaan, itu bukan persoalan, karena yang utama adalah tegaknya materialisme dalam kehidupan di dunia.

Lebih lanjut lagi, Cak Nun menuliskan dengan garang:

Manusia dan bangsa jenis itu (penganut materialisme), benderanya adalah “anti kemiskinan” bukan “anti pemiskinan”, karena melihat kekayaan dunia sebagai benda, bukan sebagai bahan-bahan dalam tugas akhlak.

Ya, semua yang ada pada diri manusia adalah sumber daya yang harus dimanfaatkan untuk mengejawantahkan esensi hakiki kemanusiaan sebagai khalifah di muka bumi ini. Begitu pula dengan para birokrat, mereka seharusnya menebarkan manfaat dan tidak menimbulkan kerusakan di alam semesta. Sehingga, harta, pangkat, dan jabatan yang ada, haruslah memberikan kemanfaatan. Harta, pangkat, dan jabatan  tidak boleh kehilangan martabatnya, karena diperoleh dengan cara-cara yang memalukan.

Mungkin ada birokrat yang berdalih menjadi Robin Hood bagi komunitasnya, baik itu lingkungannya, masyarakatnya atau bahkan organisasinya. Mereka dengan enteng menggunakan kesempatan yang ada untuk menumpuk pundi-pundi kekayaan. Tidak peduli anggaran yang mereka gunakan adalah uang rakyat.

Namun, jika Robin Hood di tanah Britania mengambil dari yang kaya dan membagikan untuk yang miskin, dan melakukan perlawanan terhadap tirani yang menindas rakyat, maka kelakuan mereka tersebut tidak seperti Robin Hood yang mereka dengung-dengungkan. Para birokrat tadi, seolah dermawan di mata komunitasnya, tetapi menggunakan dana negara yang dikemplang dengan berbagai cara, misalnya rekayasa pertanggungjawaban, atau lewat penerimaan gratifikasi, komisi/fee, suap dan sejenisnya.

Penggelembungan anggaran negara, rekayasa proyek pengadaan, atau bahkan pemotongan terhadap biaya perjalanan dinas atau honorarium, merupakan praktik jahiliyah yang masih terus berlangsung dan seharusnya sudah tidak boleh terjadi di republik ini.

Harta, pangkat, dan jabatan adalah amanah

Jika para pekerja birokrat semakin melupakan kesadaran hakiki mengenai kesuksesan yang berimplikasi kemanfaatan kepada pribadi, keluarga, dan masyarakat, maka semakin berkibarlah materialisme. Kawah candradimuka bulan puasa seharusnya menjadi lahan perenungan, menuju pengampunan Yang Maha Esa. Dahaga dan lapar di kala siang, sejatinya adalah simbol sebuah kearifan. Makanan dan minuman yang semula halal dinikmati setiap saat, akan menjadi penyebab hancurnya amalan puasa, manakala tidak dilakukan pada waktu yang telah ditentukan. Menikmati makanan dan minuman pun diatur. Pun halnya dengan harta, pangkat, dan jabatan yang diemban harus dikelola dengan kearifan yang luar biasa agar pemanfaatannya tidak menurunkan martabat sebagai pemegang amanah.

Harta, pangkat, dan jabatan, merupakan ujian bagi birokrat. Apakah bisa dimanfaatkan bagi kemanusiaan atau hanya semakin mengerdilkan arti kemanusiaan. Harta, pangkat, dan jabatan merupakan amanah, yang harus ditundukkan dalam menjalankan tata kelola pemerintahan, demi mewujudkan kemakmuran yang sesungguhnya. Setiap kepemimpinan akan mempertanggungjawabkan amanah yang dibebankan kepadanya.

Taubatan Nasuha

Para birokrat sungguh beruntung, karena sepanjang hayat masih dikandung badan, pintu taubat senantiasa terbuka untuk dimanfaatkan. Bagi yang menyadarinya, ada pintu Taubatan Nasuha yang merupakan taubat sesungguhnya. Sebuah rangkaian prosesi pertaubatan yang meliputi kesadaran penuh atas kekhilafan/kesalahan, diikuti upaya untuk memperbaiki diri dan tekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Pada hari raya Idul Fitri 1438 H ini, saatnya berbagi kesadaran dan tindakan nyata secara kolektif dan masif, mengikis materialisme yang dibingkai dalam ketamakan. Harta, pangkat, dan jabatan sebagai sebuah materi yang cukup berada dalam genggaman tangan para pengelola negeri, bukan sama sekali sebagai tujuan hati dan pikiran.

Tiada berguna harta melimpah, kalaulah tidak didapat dari sumber-sumber yang bersih dan bermartabat. Harta haruslah didapat dengan cara dan sumber yang benar, pun halnya juga digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang benar.

Tidaklah bermanfaat pangkat yang tinggi, kalaulah tidak memberikan nilai tambah positif bagi lingkungan. Pangkat yang tinggi haruslah memberikan tauladan segenap jajarannya, sekaligus memberikan pencerahan bagi masyarakat.

Tidaklah akan berkah sebuah jabatan, kalaulah diupayakan dengan cara-cara tidak prosedural. Percuma memperoleh jabatan strategis, kalau hanya akan dimanipulasi untuk kepentingan sesaat pribadi ataupun golongan. Jabatan strategis haruslah diemban oleh orang yang memiliki keahlian dan hati nurani.

Kesadaran maknawi

Kalau harta, pangkat, dan jabatan merupakan hasil dari perbuatan-perbuatan yang tercela di masa lalu ataupun sekarang, maka perlulah ditinggalkan dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat kemanusiaan. Berkubang dengan kotoran jiwa, tidak akan pernah memberikan ketenangan dan kedamaian. Bergelut dengan debu-debu dosa, hanya akan menambah masalah dan kerumitan hidup. Kini saatnya, kesadaran maknawi dibangun dalam segenap jiwa di republik ini.

 

Wahai ruh birokrat yang suci

Sudahkah kau lihat gumpalan racun ketamakan di hatimu?

Adakah harta, pangkat, dan jabatanmu telah membelenggumu?

Akankah hari-harimu hanya akan bergelimang kegundahan?

 

Wahai ruh birokrat yang suci ….

Ketika bedug bertalu dan pujian kebesaran berkumandang

Sudah kau bersihkankah raga dan pikiran dari segenap kotoran duniawi?

Mari sucikan hati, raga, dan pikiran sesuci ruhmu

Menuju kemenangan yang hakiki

 

 

2
0