Konsekuensi Ketidakefisienan Ritual Pelantikan Pejabat Fungsional

Konsekuensi Ketidakefisienan Ritual Pelantikan Pejabat Fungsional

Pada akhir Maret 2017, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS). Peraturan yang terdiri dari 363 pasal ini merupakan tindaklanjut atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh PNS.

Dari keseluruhan pasal yang ada, terdapat satu pasal yang belum seirama dengan peraturan lainnya, yaitu pasal 87, yang berbunyi: “Setiap PNS yang diangkat menjadi pejabat fungsional wajib dilantik dan diambil sumpah/janji menurut agama atau kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

Pasal 87 ini diduga mengakibatkan adanya pemborosan terhadap keuangan negara. Untuk menjelaskannya, perlu dilakukan analisis biaya terhadap penyelenggaraan pelantikan pejabat fungsional tersebut.

Analisis Biaya

Jika memperhatikan komposisi PNS seluruh Indonesia berdasarkan Jenis Jabatan dan Jenis Kelamin per Juni 2016 yang bersumber dari website resmi BKN, maka jumlah PNS yang memangku Jabatan Fungsional adalah sebanyak 4.094.873 orang atau 90,23% dari total PNS seluruh Indonesia sebanyak 4.538.154 orang.

Jika seluruh pejabat fungsional tersebut dilantik dan diangkat sumpahnya sesuai dengan pasal 87, maka negara harus menanggung beban anggaran pelantikan yang tidak sedikit.

Berdasarkan analisis biaya yang saya lakukan, biaya yang diperlukan untuk penyelenggaraan pelantikan bagi 4.094.873 pejabat fungsional tersebut sebesar Rp. 60.372.841.680,- (enam puluh milyar, tiga ratus tujuh puluh dua juta, delapan ratus empat puluh satu ribu enam ratus delapan puluh rupiah) untuk setiap 1 kali dalam 3 tahun dengan berbagai asumsi.

Analisis total biaya tersebut hanya memperhitungkan biaya kertas, biaya toner/tinta printer, biaya penyelenggaraan pelantikan (honor rohaniawan dan kue kotak (snack) untuk seluruh peserta dan penyelenggara pelantikan). Analisis total biaya tersebut belum memperhitungkan jumlah instansi vertikal yang ada di masing-masing provinsi, kabupaten, dan kota, biaya listrik (lampu dan AC) pada aula gedung yang digunakan saat penyelenggaraan pelantikan pada masing-masing instansi, dan diasumsikan, bahwa pelantikan tersebut dilaksanakan serentak kepada seluruh pejabat fungsional disetiap kenaikan jabatan fungsional (bukan pengangkatan pertama saja) dan dilaksanakan setiap 1 kali dalam 3 tahun (asumsi: kenaikan jabatan fungsional setiap 1 kali dalam 3 tahun untuk setiap pejabat fungsional).

Ketidaksesuaian dengan Aturan Lain

Dari analisis biaya sebagaimana yang telah diuraikan di atas, diketahui ada masalah pemborosan keuangan negara, dimana pasal 87 PP No. 11 Tahun 2017 tidak sejalan dengan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, PP No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, Perpres No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi,  dan Program Nawacita Pemerintahan Jokowi-JK.

UU No. 17 Tahun 2013 pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan”.

PP No. 60 Tahun 2008 pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa: “Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan”.

Perpres No. 81 Tahun 2010, menyebutkan bahwa salah satu tujuan Reformasi Birokrasi adalah meningkatkan efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan semua segi tugas organisasi.

Sedangkan Grand Design Reformasi Birokrasi bertujuan untuk memberikan arah kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi nasional selama kurun waktu 2010-2025, agar reformasi birokrasi di K/L dan Pemda dapat berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi, melembaga, dan berkelanjutan.

Adapun salah satu misi Reformasi Birokrasi adalah melakukan penataan dan penguatan organisasi, tatalaksana, manajemen SDM aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, mind set, dan culture set.

Hasil yang diharapkan pada area Tatalaksana adalah sistem, proses, dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. Hasil yang diharapkan pada area manajemen SDM aparatur adalah SDM apatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera.

Dari 9 program Nawacita pemerintahan Jokowi-JK, ada 1 program yang berbunyi: “Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya ” Satu program ini harus melaksanakan 6 kegiatan, dimana dua kegiatan diantaranya dengan membangun transparansi tata kelola pemerintahan dan menjalankan reformasi birokrasi.

Dari sini cukup jelas, bahwa UU No. 17 Tahun 2003, PP No. 60 Tahun 2008, Perpres No. 81 Tahun 2010, dan Program Nawacita Jokowi-JK mempunyai semangat yang sama yaitu adanya kegiatan yang efisien, ekonomis, dan efektif baik dari sisi waktu maupun dari sisi biaya.

Sedangkan dari misi Reformasi Birokrasi, ada keterkaitan antara area tatalaksana dengan area manajemen SDM aparatur, dimana Reformasi Birokrasi menuntut adanya manajemen SDM aparatur yang berkinerja tinggi yang didukung dengan sistem, proses, prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur, dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.

Pertanyaanya, bagaimana menuntut ASN berkinerja tinggi jika waktunya habis untuk acara seremonial seperti pelantikan pejabat fungsional yang menghabiskan anggaran negara yang tidak sedikit, padahal kabinet Jokowi-JK adalah Kabinet Kerja ?

Simpulan

Dari masalah sebagaimana telah diuraikan di atas, saya mencoba merekomendasikan solusi pemecahan masalah dengan dua opsi.

Opsi pertama, cabut pasal 87 dari PP No. 11 Tahun 2017. Menurut hemat saya, pelantikan atau pengambilan sumpah terhadap PNS hanya dua. Pertama, ketika pegawai diangkat sebagai PNS. Kedua, ketika PNS diangkat dalam jabatan struktural (Jabatan Pimpinan Tinggi dan Jabatan Administrator).

Opsi kedua, pasal 87 PP No. 11 Tahun 2017 tetap dipertahankan dengan catatan, penyelenggaraan pelantikan harus menganut prinsip-prinsip dasar berupa efisien, ekonomis, efektif dan terukur. Untuk itu, Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelantikan, cukup menyebutkan bahwa pejabat fungsional yang dilantik hanya ketika pertama kali diangkat dalam jabatan fungsional atau pejabat fungsional jenjang utama saja.

Sedangkan hardcopy masing-masing dokumen (Berita Acara Pengangkatan Sumpah Jabatan, Naskah Pelantikan, Surat Pernyataan Pelantikan (SPP), Surat Pernyataan Menduduki Jabatan (SPMJ), dan Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas (SPMT)) yang dicetak hanya satu lembar, sedangkan rangkap/tembusan dokumen cukup dalam format digital (di scan) yang dikirimkan melalui email resmi/kedinasan masing-masing instansi kepada pihak terkait. Dalam hal ini, biaya yang dapat dihemat hanya biaya kertas dan tinta, sedangkan biaya lainnya tetap harus dikeluarkan.

Selain hal tersebut di atas, masing-masing instansi harus menyediakan email resmi/kedinasan dan Document Management System (DMS) sebagai alat pengelolaan dokumen termasuk dokumen kepegawaian.

Kepada seluruh Pejabat Fungsional, apapun jenis jabatan dan jenjang jabatan Anda bahwa bentuk penghargaan selaku pejabat fungsional tidak harus dalam bentuk pelantikan. Masih banyak cara lain jika kita mau berinovasi dan berkontribusi dengan baik kepada bangsa dan negara, di instansi manapun kita bekerja. Yang terbaik pasti akan mendapatkan penghargaan, apapun bentuknya. Insya Allah.

Dalam kondisi hutang negara yang terus membengkak, marilah kita sama-sama berhemat. Diantaranya adalah dalam merancang peraturan yang isinya harus selaras dengan prinsip-prinsip dasar berupa efisien, ekonomis, efektif dan terukur. Hal ini harus didukung oleh teknologi informasi yang handal serta dikelola dengan baik.

Selanjutnya, diharapkan peraturan-peraturan yang dibuat dapat seirama dengan peraturan lainnya.

Semoga rancangan Peraturan Menteri atau Peraturan Kepala BKN yang mengatur ketentuan lebih lanjut tentang Manajemen PNS dapat mewujudkan visi reformasi birokrasi sesuai amanat Perpres No. 81 Tahun 2010, yaitu “Terwujudnya Pemerintahan Kelas Dunia”. Aamiin.

*) Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan lembaga tempat penulis bekerja atau lembaga lain.

2
0
Belajar Public Risk Management dari Negeri Ratu Elizabeth

Belajar Public Risk Management dari Negeri Ratu Elizabeth

Saat ini, istilah Manajemen Risiko rasanya sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat, khususnya di sektor swasta. Penerapan manajemen risiko diwajibkan pertama kali di bidang perbankan di seluruh dunia melalui regulasi dari Bank Committee on Banking Supervison (BCBS) yang dikenal dengan sebutan Basel II.

Dalam regulasi tersebut dijelaskan bahwa terdapat tiga pilar penting yang harus dijalankan, salah satunya adalah menyusun suatu kerangka kerja dalam menangani semua risiko yang mungkin dihadapi oleh bank. Di Indonesia, kewajiban tersebut dipertegas dengan terbitnya Peraturan Bank Indonesia Nomor 5 tahun 2003 Tentang Pedoman Manajemen Risiko Perbankan yang mengharuskan semua bank melakukan pengelolaan risiko.

Merujuk pada kesuksesan penerapan manajemen risiko di sektor perbankan dan dinilai dapat memberikan dampak positif pada pencapaian tujuan organisasi, penerapan manajemen risiko juga mulai gencar dilakukan pada sektor privat lainnya. Perusahaan-perusahaan terbuka menerapkan manajemen risiko dengan merujuk pada berbagai framework seperti Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO) atau ISO-31000, yang kemudian dikenal dengan Enterprise Risk Management (ERM).

Lalu bagaimana gaung manajemen risiko di sektor publik, khususnya di Indonesia? Secara payung hukum, melalui Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), terdapat lima unsur pengendalian intern yang salah satunya adalah penilaian risiko.

Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa instansi pemerintah wajib melaksanakan penilaian risiko, yaitu melakukan identifikasi risiko, analisis risiko, dan menetapkan struktur pengendalian untuk menangani risiko.

Proses tersebut secara substansi identik dengan proses manajemen risiko, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar hukum penerapan manajemen risiko di pemerintahan. Namun fakta berbicara, hampir sembilan tahun sejak peraturan tersebut ditetapkan, jumlah instansi pemerintah yang sudah menerapkan manajemen risiko di lingkungan organisasinya masih minim, baik dari segi payung hukum yang lebih rinci maupun segala hal terkait implementasinya.

Membangun sebuah manajemen risiko di dalam organisasi memang tidak mudah, terlebih pada instansi pemerintah yang kompleks dan memiliki struktur organisasi yang besar di dalamnya. Namun, hal tersebut bukanlah sebuah penghalang.

Terkait penerapan Public Risk Management (PRM), istilah populer yang menggambarkan manajemen risiko di sektor publik, terdapat beberapa negara yang dapat dijadikan rujukan bagi Indonesia.

Martin Fone dan Peter C. Taylor dalam bukunya berjudul ‘Public Sector Risk Management’ mengungkapkan bahwa risiko berkaitan dengan hal-hal yang unik di sektor publik.

Pertama, dari sisi organisasinya, sektor publik memiliki organisasi yang unik, memiliki atribut di sisi peraturan, sosial, dan politik, hal yang tidak kita temui di sektor privat.

Kedua, kebanyakan risiko di sektor publik juga memiliki keunikan dan hanya bisa dikelola oleh organisasi sektor publik pula. Dalam buku tersebut juga ditekankan bahwa risiko tidak selamanya dilihat dari kacamata ‘measurable’, atau dapat diukur, karena risiko juga memiliki sisi konsep subjektivitas.

Banyak pakar mengatakan bahwa tantangan terbesar dari manajemen risiko adalah mengidentifikasi dan mengelola sikap dan persepsi daripada sisi objektif dari risiko itu sendiri. Secara lebih tajam diungkapkan bahwa kebanyakan penerapan manajemen risiko tidak dapat optimal karena masih dilihat sebagai sebuah perintah dari pemerintah saja, bukan dilihat manajemen risiko sebagai fungsi yang memberikan manfaat.

United Kingdom (Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara), mulai menerapkan PRM pada tahun 2004 dengan diterbitkannya pedoman berjudul ‘Management of Risk – Principle and Concepts’, namun lebih akrab disebut dengan ‘The Orange Book’  karena memang warna sampul dan huruf di dalamnya berwarna oranye.

Dalam pedoman tersebut dijelaskan sebuah kerangka dan proses manajemen risiko, mulai dari membangun sebuah model manajemen risikonya sampai dengan siklus proses manajemen risiko dilaksanakan. Hasilnya, saat ini seluruh organisasi pemerintah di Inggris sudah menerapkan proses manajemen risiko sesuai dengan pedoman ‘The Orange Book’ tersebut.

Kesuksesan United Kingdom (UK) dalam menerapkan manajemen risiko tentu tidak dapat disimpulkan merupakan upaya yang mudah dilakukan, tidak pula dapat diartikan hanya sekedar ‘plug and play’ dari manajemen risiko sektor privat misalnya, tentu perlu dilakukan banyak penyesuaian.

Bahkan, praktik penerapan manajemen risiko tradisional di UK telah diteliti sejak tahun 1980-an. Upaya demi upaya yang dilakukan membuahkan hasil ketika local authorities, serupa dengan pemerintah daerah di Indonesia, mulai menerapkan manajemen risiko meskipun dengan hasil yang sangat bervariasi, ada organisasi yang tidak terlihat menerapkan sampai ke organisasi yang sudah sangat canggih dalam menerapkannya. Dalam kondisi seperti inilah, respon positif dilakukan oleh asosiasi manajer risiko di tingkat local authorities, dengan melakukan banyak riset guna mengatasi deviasi yang besar tersebut.

Tak hanya berhenti pada peran para anggota asosiasi tersebut, National Audit Office (NAO), secara peran dan posisi mirip dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), melalui laporannya pada tahun 2000 dengan judul “Supporting innovation – managing risk in government departments” dan “Risk – improving government’s capacity to handle risk and uncertainty”, memberikan dorongan bagi pemerintah untuk menyusun agenda manajemen risiko dan penguatan pengendalian internal.

Atas laporan tersebut, Ministry of Treasury mengeluarkan “Management of Risk – A Strategic Overview” pada tahun 2001, dokumen inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Orange Book. ‘Kelahiran’ dokumen ini juga diikuti dengan dokumen relevan lainnya seperti “Green Book” yang berisi arahan yang spesifik dalam “Appraisal and Evaluation in Central Government”.

Lalu, the Office of Government Commerce juga menerbitkan “Management of Risk” dimana memberikan arahan yang lebih detail terkait praktik penerapan dari prinsip dan konsepnya. Termasuk arahan lebih lanjut lagi yang diterbitkan oleh the Treasury’s Risk Support Team sebagai bagian dari “The Risk Programme”.

Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa setelah publikasi ‘Orange Book’ tersebut, semua organisasi di pemerintahan telah memiliki dasar proses manajemen risiko secara jelas. Artinya, tantangan penerapan manajemen risiko sudah tidak lagi berada pada level identifikasi dan analisis risiko dan pengembangan proses manajemen risiko lagi, tetapi sudah bergeser pada reviu yang berkelanjutan dan perbaikan yang terus menerus pada manajemen risikonya.

Jika kita menarik benang merah dari proses panjang manajemen risiko sektor publik di negeri Ratu Elizabeth tersebut, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan penerapan manajemen risiko setidaknya dimulai dengan keterlibatan berbagai pihak, tidak hanya pemerintah saja namun memerlukan peran dari pihak lain, termasuk pihak eksternal seperti NAO, perlu ada pihak yang melakukan pemotretan kondisi dari luar sehingga dapat diketahui kelemahannya.

Kemudian, perlu adanya kesamaan persepsi tentang fungsi dari manajemen risiko yang tidak hanya sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan, namun harus dipahami peran dan manfaat yang diberikan. Terakhir, arahan, kebijakan, pedoman, petunjuk, merupakan hal yang vital karena akan mempermudah organisasi dalam menerapkannya, terutama pedoman yang detail dalam setiap langkah dan prosesnya.

Lalu, akan muncul pertanyaan dari kita, sampai dimanakah posisi kesiapan Indonesia dalam menerapkan manajemen risiko di sektor publik?

 

 

0
0