Kesalahan Pengadaan? (Perspektif Hukum)

“Kesalahan Pengadaan”: Bukan Tipikor Tapi Sering Dinilai Sebagai Tipikor?

Penulis     : MUDJISANTOSA*

Halaman  : 338

Penerbit   : Primaprint Yogyakarta

Tahun      : 2017

Buku ini membahas praktik penanganan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam pengadaan barang dan jasa oleh aparat penegak hukum yang sering kurang mengindahkan fakta sesungguhnya dari suatu kesalahan. Padahal, dalam perspektif hukum/peraturan perundang-undangan, perbuatan melanggar hukum memiliki beberapa tingkatan apabila dikaitkan dengan ada/tidaknya kerugian negara, yaitu: a. tidak ada kerugian negara dan hanya merupakan kesalahan administrasi, b. ada kerugian negara, namun tidak terbukti adanya perbuatan tipikor dan seharusnya diselesaikan berdasarkan UU No 1 tahun 2004, UU No. 15 tahun 2004, dan penyelesaian kerugian negara berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2016, c. ada kerugian negara dan terbukti terdapat perbuatan tipikor dan harus diselesaikan berdasarkan UU No. 31 tahun 1999 dan UU 20 tahun 2001, dan d. tidak ada kesalahan dalam proses pengadaan atau pelaksanaan kontrak  telah sesuai dengan peraturan yang berlaku, namun ada aliran dana tidak patut/tidak sah, maka harus diselesaikan berdasarkan UU No. 31 tahun 1999 dan UU 20 tahun 2001.

Dalam praktiknya, jika mencermati keputusan beberapa perkara tipikor yang terjadi, sebenarnya masih berada pada ranah administrasi (sifat kesalahan memenuhi kondisi huruf a atau b), yang penyelesaiannya semestinya bersifat administrasi/perdata, dan tidak kemudian diselesaikan sebagai perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tipikor (sifat kesalahan memenuhi kondisi huruf c dan d).

Buku ini menguraikan lebih jauh, jika terdapat kesalahan dalam pengadaan/kontrak yang tidak sesuai aturan (unsur perbuatan melawan hukum), namun tidak ditemukan kerugian negaranya, maka penyelesaiannya diselesaikan secara administratif. Namun jika ditemukan kerugian negara yang dilandasi adanya niat jahat dengan dapat dibuktikan adanya suap/mark up/fiktif/kolusi/pemalsuan, maka penyelesaiannya harus mengacu pada UU No. 31 tahun 1999 dan UU 20 tahun 2001, termasuk apabila ada aliran dana yang tidak patut/tidak sah, meskipun tidak ada perbuatan melawan hukumya. Namun jika ditemukan kerugian negara yang tidak dilandasi oleh adanya niat jahat, maka penyelesaiannya harus mengacu pada UU No 1 tahun 2004, UU No. 15 tahun 2004, dan penyelesaian kerugian negara berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2016.

Ketika sifat kesalahan hanya merupakan kesalahan administrasi atau perdata, namun lantas diproses sebagai perbuatan tipikor maka semua pengambil keputusan dan pengelola pembangunan (termasuk pengelola pengadaan barang dan jasa/kontrak) dikuatirkan akan tiarap (baca: mogok) semua. Mereka takut “ditipikorkan” hanya karena melakukan kesalahan bersifat administratif dalam proses pengadaan barang/jasa atau pelaksanaan kontrak. Semestinya yang benar adalah takut melakukan korupsi. Kenapa harus takut, padahal tidak melakukan korupsi? Ketakutan para pengambil keputusan, pengelola pembangunan, termasuk pengelola pengadaan barang dan jasa/kontrak tersebut karena pemahaman dan penerapan penegakan hukum tipikor di negeri ini, saat ini, cenderung lebih mengutamakan pendekatan penanganan kasus tipikor  dengan mengacu pada UU No. 31 tahun 1999 dan UU 20 tahun 2001 untuk suatu kesalahan yang sebenarnya hanya bersifat administratif/perdata.

Buku ini mencoba membahas hal-hal di atas dan berusaha meluruskan kondisi penegakan hukum tipikor dalam pengadaan barang dan jasa yang menurutnya sudah “kebablasan.” Anda dapat memiliki bukunya dengan melakukan pemesanan di sini.

 

1
0