Pilkada & Kapitalisme

Pilkada & Kapitalisme

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung merupakan arena pertarungan politik, dimana salah satu resource-nya adalah modal. Sebagai proses demokratisasi di tingkat lokal, Pilkada secara ideal diharapkan mampu menghasilkan pemimpin politik yang demokratis, berdasarkan aspirasi dan dukungan rakyat.

Sementara, kapitalisme menurut definisi Marxisme adalah sebuah rezim dimana alat produksi dan sentra ekonomi telah menjadi monopoli kelas sosial pemilik modal. Kata Marx, kapitalisme dilahirkan dari persaingan bebas dan tidak dapat dipahami tanpa persaingan bebas, dengan satu ciri khusus bahwa dia merubah tenaga kerja menjadi komoditi.

Secara sederhana dapat kita sebut bahwa Pilkada adalah bagian dari proses politik, sementara kapitalisme adalah pertarungan pemilik modal, dimana dengan kekuatan modalnya, berusaha mencapai keuntungan maksimal berupa “stabilitas” investasi dan ekonominya. Politik dapat mempengaruhi fluktuasi ekonomi, dan sebaliknya sewaktu-waktu pula ekonomi akan memainkan peran vital dalam mempengaruhi sistem politik yang ada. Adakah relasi yang cukup kuat antara politik dan ekonomi terjadi dalam setiap pergelaran pesta demokrasi di tingkat lokal seperti Pilkada?

Dalam setiap perhelatan Pilkada, para kandidat tentu menyiapkan cost politiknya. Artinya, mereka telah menyiapkan modal yang besar untuk berkompetisi dalam gelanggang politik praktis itu dengan satu impian bisa menang. Implikasi negatif dari pemilihan langsung dengan gaya tersebut adalah hanya para elit yang punya “modal”, atau minimal punya network dengan para pemilik modal yang bisa terjun ke arena kontestasi untuk berkompetisi dalam suksesi demokrasi itu, meskipun para elit itu sebenarnya minim kompetensi.

Anda tentu sepakat, bahwa pada kenyataannya Pilkada itu mahal. Apalagi jika permainan para elit tersebut dalam Pilkada didesain menjadi lahan pertarungan antara kepentingan politik praktis demi kekuasaan dan pertaruhan pemilik modal sebagai jalan untuk merebut penguasaan atas sumber daya ekonomi, terlepas apakah permainan itu sehat atau tidak.

Dalam Pilkada, kaum kapitalis pemilik modal sangat berperan memainkan dramatisasi politik. Dimana masing-masing pihak memiliki kepentingan vital yang mutualistik. Para kandidat membutuhkan suplai dana yang besar dari berbagai pemilik modal agar lebih kuat dan percaya diri, dan di sisi lain para pemilik modal memiliki hasrat mengamankan investasi ekonomi perusahaannya. Selain itu kapitalis dengan modalnya dapat menggunakan media massa, fasilitas media elektronik radio dan televisi sebagai sarana propaganda kepentingan mereka. Di sinilah kita akan menyaksikan perkawinan kepentingan yang mesra antara calon pemimpin dengan para pemilik modal.

Episode drama politik akan lebih menarik ketika gong Pilkada sudah ditabuh. Coba Anda amati selama tahapan pilkada berjalan, sejak proses sosialisasi sampai kampanye. Di depan rakyat calon pemilih, para kandidat akan bernyanyi tentang slogan-slogan politik, menjanjikan kesejahteraan, keadilan, hak asasi, pengentasan kemiskinan, pendidikan yang layak, dan berbagai kesenangan yang membuai lainya demi merebut simpati dan dukungan agar mereka bisa terpilih. Sementara di balik panggung kampanye, para kapitalis bermain mata dengan “kandidat” jagoannya,  menghitung modal dan keuntungan dari investasinya kalau si jago bisa menang.

Para pemilik modal yang kapitalis tadi tidak akan berhitung rugi, karena secara matematika kapitalis mereka mengubah formula suara pemilih menjadi komoditi. Komoditi yang mereka maksudkan adalah sebuah keuntungan ekonomi,  dimana rakyat diasumsikan sebagai pasar yang menjadi asetnya untuk menggantikan modal. Sejalan dengan tesis Ernest Mandel (2006) bahwa kapitalis dapat mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri, dimana tenaga kerja mereka jadikan sebagai sebuah komoditi. Dalam pemilihan, suara rakyat ibarat tenaga kerja yang dapat diakumulasikan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, karena berdasarkan Robert W. McChesney (1998) pemilihan dianggap mencerminkan prinsip-prinsip pasar, dan kontribusi disamakan dengan investasi.

Dengan kekuatan modalnya, kapitalis akan mendukung jagonya mencapai kursi puncak birokrasi di daerah. Apalagi dalam pemilihan, lanjut Ernest Mandel, kapitalis akan berhasil mempengaruhi sejumlah besar pemilih yang secara material tergantung pada mereka. Karena mereka punya jaring-jaring kapital yang kuat yang bisa dimanfaatkan secara mutualisme oleh si calon pemimpin. Surplus dan distribusi modal yang berlebihan terhadap kandidat dari pemilik modal tentunya berimbas nantinya pada proses pengambilan dan pembuatan kebijakan di tingkat eksekutif ketika si calon terpilih, sehingga akan muncul “kebijakan titipan”.

Apa yang terjadi kemudian? Pastinya banyak kebijakan yang mengarah ke atas, tidak populis. Kebijakan terkesan hanya untuk para kalangan elit orang-orang kaya, sebagai imbalan balas jasa, melalui kemudahan investasi dan berbagai bargaining lainnya. Karena menurut Ernest Mandel, di bawah cambukan kompetisi, kapitalisme diwajibkan untuk memaksimalisasi keuntungan agar dapat mengembangkan investasi produktif hingga maksimum.

Pilkada adalah lahan subur untuk menanam benih-benih kapitalisme. Akibatnya, hak rakyat tentang kesejahteraan dan keadilan terampas, dan parahnya rakyat semakin termarjinalkan dari sistem yang ada serta jurang sosial dan ekonomi semakin dalam antara rakyat yang dipimpin dan para elit yang berkuasa. Tidaklah berlebihan ketika pembangunan berbagai megaproyek disulap hanya untuk kepentingan para elit berkantong tebal, pemerataan, dan keadilan sosial hanya menjadi impian bagi rakyat kebanyakan, semu, dan sebatas ilusi saat kampanye.

Demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan tidak akan tercapai ketika kapitalisme telah berkawan mesra dengan para elit penguasa itu. Dengan demikan, inilah kemenangan penguasa dan kaum kapitalis. Maka tak aneh kalau secara implisit hasil Pilkada itu hanya menghasilkan sebuah produk pemerintahan yang oleh Marx diistilahkan sebagai Negara Borjouis.

Kita berharap, pemilihan kepala daerah secara langsung itu bisa melahirkan satu paket pemimpin yang pro rakyat dan pro demokrasi. Bukan pemimpin yang berkongsi dengan kapitalisme, yang hanya berpihak pada kepentingan ekonomi mereka sendiri. Idealnya, kata Bung Karno: “Para pemimpin berasal dari rakyat dan bukan berada di atas rakyat, dan tidak hidup di bawah ketiak dan telunjuk kaum kapitalis.”

Semoga rakyat bijak melihat ini sebagai sebuah renungan dan referensi rasionalitasnya, sehingga tidak terbuai oleh slogan visi, misi, dan janji-janji kandidat elit penguasa yang hanya sebatas retorika surga yang enak didengar di telinga.

 

 

0
0
Mengenal Peran Chief Executive Officer dalam Tata Kelola Pemerintah Daerah

Mengenal Peran Chief Executive Officer dalam Tata Kelola Pemerintah Daerah

Perubahan radikal yang dilakukan pada masa reformasi di Indonesia, salah satunya, adalah desentralisasi. Kita lebih akrab mengenalnya dengan istilah otonomi daerah, yaitu pelimpahan hak, wewenang, dan kewajiban kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat.

Upaya tersebut untuk mempersempit jarak antara pengelola negara dengan stakeholder utamanya, yaitu masyarakat. Dengan demikian, pengelola negara lebih mudah mendengar apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya, termasuk aspirasi dari mereka.

Tentu, banyak faktor dan indikator yang diperlukan untuk menilai apakah otonomi daerah telah berjalan sesuai dengan tujuannya. Jika satu indikator yang dilihat adalah korupsi, hingga bulan Agustus 2016 terdapat 18 gubernur dan 343 bupati/walikota yang terjerat kasus korupsi.

Tidak dapat dipungkiri tentu muncul pertanyaan dari berbagai pihak, di bagian manakah sumber masalahnya? Apakah karena kebetulan para pemimpin daerah yang terpilih merupakan orang jahat? Atau, sebenarnya ada persoalan tata kelola (governance) di pemerintah daerah?

Karenanya, sebagai penambah wawasan memecahkan masalah tersebut dari segi tata-kelola, berikut dikenalkan peran chief executive officer (CEO) dalam tata-kelola pemerintah darah di United Kingdom (UK).

Reformasi di UK

UK tahun 2000 (dan kemudian dimutakhirkan tahun 2007 dan 2011) telah melakukan reformasi atas sistem pemerintahan daerahnya (local authority), khususnya di daerah Inggris (England) dan Wales. Pada prinsipnya, reformasi ini memberikan kekuasaan bagi pemerintah daerah untuk mendorong kesejateraan ekonomi, sosial, dan lingkungan di wilayahnya masing-masing.

Reformasi ini disebabkan dana yang diterima pemerintah daerah dari pemerintah pusat semakin mengecil. Tantangan inilah yang ‘memaksa’ pemerintah daerah lebih mandiri, terutama dalam membuat keputusan karena akan berimbas langsung kepada masyarakatnya.

Perbedaan yang jelas reformasi pemerintahan daerah di Indonesia dan UK adalah adanya perubahan dari model tradisional pengambilan keputusan yang berbasis komite (traditional committee-based system decision-making) menuju ke model eksekutif (executive model).

Sebagai gambaran sekilas, pada model pertama, sebagaimana sekarang dikenal di Indonesia, komite atau DPRD di daerah secara simultan berkoordinasi dengan SKPD. Karenanya, setiap keputusan yang akan diambil harus melalui serangkaian rapat bersama di antara mereka.

Pada model kedua, pemerintahan daerah di UK dapat memilih kombinasi dari tiga bentuk sistem pemerintahan, yaitu kombinasi pemimpin dan eksekutif kabinet (leader and cabinet executive), kombinasi walikota dan eksekutif kabinet (mayor and cabinet executive), dan kombinasi walikota dan eksekutif manager dewan (mayor and council manager executive).

Ketiga alternatif kombinasi itu memiliki prinsip yang sama, yaitu adanya pembagian kewenangan dalam aspek politik dan non-politik (birokrasi). Yang paling menarik, pada model kedua ini dikenalkan adanya chief executive officer (CEO).

Peran CEO di Kota Nottingham

Untuk memberikan gambaran perbedaan peran walikota dan CEO, mari kita lihat Kota Nottingham. Walikota Nottingham merupakan sosok yang dipilih langsung oleh masyarakat pada setiap periode kepemimpinan, biasanya, setiap empat tahun. Saat ini kota ini dipimpin oleh Mohammed Saghir. Ia menjadi simbol keterpaduan sosial kota, termasuk ragam budaya dan kepercayaan.

Saghir hanya berfokus kepada hal-hal seremonial dan tidak turut campur dalam proses sehari-hari pemerintahan daerah. Yang mengurus sehari-hari pemerintahan daerah adalah CEO. Seperti layaknya sebuah perusahaan, Kota Nottingham dipimpin oleh seorang CEO yang mengepalai beberapa corporate director, yang terbagi sesuai dengan urusan pemerintah daerahnya. Misalnya, corporate director of commercial and operations, corporate director of development, corporate director of children and families, dan corporate director strategy and resources.

Singkatnya, pemerintah daerah dikelola layaknya sebuah perusahaan, yang sangat efektif dalam mengelola sumber daya yang dimiliki untuk menghasilkan produk dan pelayanan yang memuaskan pelanggannya.

Membisniskan Pemerintahan

Reformasi tersebut bukanlah hal yang tidak berdasar. Reformasi adalah proses “membisniskan” pemerintahan. Sebab, banyak sebenarnya praktik yang diterapkan di pemerintahan merupakan adopsi dari praktik di sektor bisnis.

Misalnya, good corporate governance, risk management, performance management, dan masih banyak lagi. Karenanya, penunjukan seorang CEO untuk menjalankan administrasi pemerintahan adalah proses “membisniskan” pemerintahan.

Tentu perlu pendalaman yang lebih jauh apakah sistem tersebut dapat diadopsi di Indonesia. Termasuk, bagaimana ketersediaan dan kualitas sumber daya CEO di Indonesia saat ini.

Namun, tidak akan ada habisnya jika kita hanya berfokus pada kekurangannya. Sebab, positifnya, peran CEO ini mungkin akan menjawab tentang bagaimana mestinya pemisahan peran politisi dengan birokrat di Indonesia yang semakin krusial saat ini.

 

 

0
0