Mendeteksi “Penumpang Gelap” Dalam Birokrasi Indonesia

Mendeteksi “Penumpang Gelap” Dalam Birokrasi Indonesia

Pernyataan Ketua Umum Megawati dalam Kongres ke IV PDIP di Bali pada 9 April 2015 yang mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk mewaspadai gerakan tim sukses yang menjadi penumpang gelap di dalam kekuasaan, membuat masyarakat bertanya-tanya siapakah penumpang gelap dalam pemerintahan yang di maksud?  

—-

Anda mungkin juga mempertanyakan, kalau di tingkat elit penguasa Indonesia tersusupi penumpang gelap, bagaimana dengan jajaran birokrasi pemerintahannya? Jangan-jangan selama ini APBN Indonesia tergerogoti dengan kehadiran si penumpang gelap.

Secara umum stowaway atau penumpang gelap (penyusup) didefinisikan sebagai seseorang yang secara sembunyi-sembunyi menaiki suatu sarana transportasi dan mengadakan perjalanan dengannya tanpa membayar dan tanpa terdeteksi. Atau, seseorang yang secara sembunyi-sembunyi berada di kapal atau di kargo yang kemudian dimuat di kapal tanpa persetujuan dari pemilik, kapten, atau kru kapal.

Jika mengacu pada definisi umum tersebut, dalam konteks penyelenggaraan birokrasi pemerintah, penumpang gelap dapat diartikan seseorang yang berada dalam lingkaran birokrasi tapi mempunyai maksud dan tujuan yang berbeda dengan tujuan organisasi.

Penumpang Gelap dari Masa ke Masa

Meski pemerintah orde baru telah sukses meningkatkan perekonomian Indonesia paska pemberontakan G 30 S PKI 1965 (GDP Indonesia meningkat dari hanya US$70 menjadi $1.500 pada akhir orde baru), namun rezim tersebut mewariskan penyakit birokrasi berupa praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang tumbuh subur dan berkembang. Hal tersebut disebabkan banyaknya penumpang gelap dalam birokrasi pemerintah yang membuat birokrasi pemerintah menjadi tidak efisien dan efektif. Upaya pembenahan birokrasi pemerintah Indonesia dari para penumpang gelap di masa orde baru masih menghadapi banyak kendala.

Kondisi tersebut mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 1997. Indonesia mengalami krisis keuangan dan ekonomi Asia yang disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir. Harga minyak, gas, dan komoditas ekspor lainnya jatuh dan hal itu mengakibatkan nilai mata uang Rupiah turut jatuh, inflasi meningkat tajam, dan terjadi pelarian modal (capital flight) dari Indonesia. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, akhirnya Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, dan menunjuk Wakil Presiden, B. J. Habibie menjadi presiden ketiga Indonesia, yang selanjutnya dijadikan sebagai awal munculnya era reformasi.

Kini, setelah 19 tahun reformasi berjalan publik dapat mengontrol secara langsung kinerja instansi pemerintah melalui laporan keuangan pemerintah yang merupakan tolok ukur transparansi dan akuntabilitas keuangan. Birokrasi tidak lagi bisa sewenang-wenang menggunakan uang negara tanpa pertanggungjawaban. Namun apakah pemerintah sudah bekerja efektif dan efisien? Ternyata tidak! Dengan membaca data indeks persepsi korupsi (IPK) yang tidak pernah turun dari tahun 1998, dan prestasi KPK yang setiap tahun berhasil menangkap koruptor menunjukkan bahwa pemerintah masih digerogoti penyakit-penyakit birokrasi warisan orde baru, termasuk masih banyaknya penumpang gelap dalam birokrasi pemerintah.

Ciri-ciri  Penumpang  Gelap

Bagaimana mendeteksi ciri-ciri khusus penumpang gelap dalam suatu birokrasi pemerintah?

Pertama, penumpang gelap akan berada dekat dengan pemimpin  namun sering menjadi pahlawan kesiangan. Terkadang mengusung jargon bekerja cerdas, padahal itu karena ia tidak mau bekerja keras. Namun ketika atasan sedang dalam masa sulit, penyusup tersebut justru tidak menunjukkan batang hidungnya. Akan tetapi setelah suasana reda dari segala permasalahan, tiba-tiba ia muncul dan banyak mengeluarkan statement seolah dirinya sebagai bagian dari kunci semua persoalan.

Kedua, terkadang penumpang gelap dikenal orang sebagai bawahan yang taat, akan tetapi sesungguhnya dialah yang mengendalikan organisasi agar mengikuti garis kebijakannya. Orang-orang ini biasanya menduduki jabatan sangat strategis, dan akan mengusulkan kebijakan-kebijakan yang berlawanan arah dengan kebijakan organisasi, sehingga organisasi menjadi salah arah atau tidak jelas arah tujuannya.

Ketiga, adanya jabatan-jabatan yang hanya mengurusi pekerjaan yang hampir sama jenis dan waktunya, karena pejabat yang bersangkutan tidak perform. Tetapi tidak ada upaya untuk mencopot dari jabatannya karena ia merupakan orang titipan. Jika dilihat dari prinsip-prinsip berorganisasi, masalah ini merupakan pemborosan dan inefisiensi.

Keempat, penumpang gelap adalah mereka yang masih sempat sarapan di warung setelah jam bekerja karena atasannya pun tidak mempunyai cukup pekerjaan atau tidak mempunyai kemampuan untuk mendelegasikan pekerjaan.

Dampak Buruk Penumpang Gelap

Adanya penumpang gelap mengakibatkan organisasi pemerintah tidak dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai kebijakan pemerintah dan DPR/D. Lebih buruk lagi, organisasi menjadi tidak jelas arah tujuannya, dan pemborosan terjadi di setiap fungsi organisasi. Memburuknya kinerja organisasi mengakibatkan pegawai menjadi tidak puas dan berfikir pragmatis. Datang ke kantor hanya sekedar menggugurkan kewajiban dan tidak berfikir kreatif dan mengembangkan diri.

Pentingnya birokrasi pemerintah bebas dari penumpang gelap (penyusup) organisasi adalah karena birokrasi pemerintah memegang peranan strategis dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik. Birokrasi pemerintah turut menentukan keberhasilan pemerintah dalam menjalankan program dan kebijakan pembangunan. Dalam birokrasi yang buruk, upaya pembangunan dipastikan akan mengalami banyak permasalahan. Sebaliknya, birokrasi yang efektif dan efisien memastikan program-program pembangunan akan berjalan lebih lancar dan tujuan pembangunan akan tercapai.

Ibarat uang sebagai aliran air, maka dimana uang mengalir pasti selalu ada yang tertinggal pada pipa. Jika pipanya efisien dan efektif, maka air yang tertinggal hanya membasahi pipa. Namun dalam birokrasi yang inefisien dan penuh penumpang gelap, maka aliran air menjadi tergenang dan bahkan bocor. Birokrasi yang dipenuhi penumpang gelap tidak hanya membuat APBN dan APBD tidak terserap secara efektif dan efisien tetapi juga menjadi sarang para birokrat yang korup, pemeras, kolutif dan manipulatif, dari birokrasi tertinggi yakni departemen hingga level paling bawah yakni RT/ RW.

Jalan Keluar

Bagaimana memperbaikinya? Pertama, tentunya organisasi harus dapat mendeteksi apakah ada penumpang gelap dalam birokrasi pemerintah atau tidak. Setelah mendeteksinya, selanjutnya harus menghitung berapa besar penumpang gelap birokrasi dan kerugian yang ditimbulkannya. Kedua, organisasi mengembangkan standar kinerja personil (SKP) dengan menyelaraskan kinerja pegawai sampai kepada tujuan organisasi (goal setting). Selanjutnya mengukur tujuan organisasi dengan visi dan misi organisasi pemerintah. Ketiga, menilai kinerja pegawai berdasarkan standar kinerja yang telah disepakati, dan mengembangkan kompetensi pegawai sesuai kebutuhan organisasi. Terhadap pegawai yang gagal memenuhi standar kompetensi yang telah disepakati, organisasi mempersiapkan pegawai yang bersangkutan untuk program paska pegawai. Sebaliknya untuk pegawai yang melebihi ekspektasi kompetensi, maka organisasi mempersiapkan untuk program pengembangan kompetensi.

Dengan menerapkan 3 prinsip organisasi bebas penumpang gelap diatas, diharapkan organisasi pemerintah bebas dari penumpang gelap, dan visi serta misi pemerintah dapat tercapai. Birokrasi pemerintah yang bebas penumpang gelap, tentunya menjadi lebih efisien dan efektif. Program dan kegiatan berjalan sesuai perencanaan dan masyarakat puas dengan kinerja pemerintah.

Semoga.

 

0
0
‘Corruption The Devil’, Perlawanan Semesta Segala Tindak Pidana Korupsi

‘Corruption The Devil’, Perlawanan Semesta Segala Tindak Pidana Korupsi

Penulis    : HARYONO UMAR*

Halaman : 600

Penerbit  : Universitas Tri Sakti

Dengan berbagai kelebihannya baik dari sumber daya alam yang melimpah, posisi strategis di  katulistiwa, keragaman budaya, sejarah, dan jumlah penduduk cukup besar, sudah selayaknya Indonesia menjadi negara besar dan bermartabat.

Dengan kasih sayang yang tak berhingga, Tuhan sudah menganugerahkan semua kenikmatan bagi bangsa Indonesia agar dapat hidup secara layak, adil, makmur dan sejahtera. Merupakan suatu kejanggalan yang sulit untuk diterima oleh akal sehat apabila penduduk di Nusantara ini tetap terjebak dalam jurang kemiskinan dan kebodohan sementara pihak lain berlomba-lomba mengeruk dan menguasai harta kekayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perjuangan yang tidak pernah surut oleh para pahlawan merupakan bukti bahwa negara ini berkeinginan kuat untuk meraih kesejahteraan tersebut. Para pahlawan telah mengorbankan harta, jiwa, dan raga untuk kemerdekaan, kemajuan, dan martabat bangsa.

Perjuangan yang mereka lakukan dengan satu tujuan yakni untu meyakinkan bahwa bangsa Indonesia dapat menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Mereka sangat menyadari bahwa apa yang diperjuangkan bukanlah untuk mereka nikmati, namun sebagai persembahan bagi anak cucu mereka sebagai pewaris negara.

Namun sayangnya, setelah negara ini merdeka, para pewaris bangsa tidak dapat memenuhi harapan para pahlawan. Pewaris bangsa yang menjadi pemegang amanah kekuasaan telah melakukan pengkhianatan dengan lebih mengutamakan keuntungan dan kepentingan diri mereka sendir, kelompok, atau golongannya.

Mereka telah menyalahgunakan kewenangan yang dikuasakan kepada mereka dengan menindas, menipu, dan mengabaikan tugas utamanya untuk melayani masyarakat. Para abdi negara telah bermutasi menjadi penguasa dzalim yang mengeruk kekayaan negara layaknya prilaku kompeni di zaman penjajahan.

Hal yang demikian menjadi suguhan menarik bagi masyarakat hampir setiap hari dengan berbagai bentuk kejahatan korusi. Para pemegang amanah telah melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam berbagai delik dan modus terkait dengan keuangan negara, suap, pemerasan, gratifikasi, pemalsuan pembukuan, dan sebagainya.

Hampir setiap program dan kegiatan yang menyangkut keuangan negara mereka lakukan tindak pidana korupsi. Sungguh mengherankan apabila dilihat  dari para pelaku pidana korupsi ini. Mereka adalah para petinggi dengan kekuasaan dan kehormatan yang besar, memiliki pendidikan juga melebihi rata-rata masyarakat, sudah mempunyai harta kekayaan yang lebih dari cukup, dengan dukungan teman dan kroni yang tersebar disetiap lini.

Korupsi sudah merusak hampir di semua sektor kehidupan masyarakat mulai  dari ekonomi, sosial, buadaya, sampai-sampai membahyakan keberlangsungan (sustainable development) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari berbagai penyebab seperti kesempatan (opportunitis), tekanan (pressures), pembenaran  (rationalizations), dan kemampuan (capabilities) sebenarnya masih bisa dicegah dengan baik apabila faktor penyebab utamanya bisa ditangani dengan baik.

Faktor penyebab utama perilaku koruptif di Indonesia adalah hancurnya integritas (lack of integrity). Para pelaku korupsi baik itu kalangan pimpinan pemerintahan (menteri, gubernur, bupati, walikota, pejabat eselon I dan II, direksi BUMN/D, anggota DPR/D), para penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, pengacara), maupun kalangan pengusaha telah terjebak dalam suatu kondisi yang menyebabkan mereka kehilangan integritas disaat menjalankan tugasnya.

Berbagai upaya penindakan (repressive) dan pencegahan (preventive) telah diupayakan namun masih saja belum menunjukkan perbaikan yang siginfikan. Oleh karenanya, saya membuat buku berjudul ‘Corruption The Devil’ sebagai sumbangsih melawan tindakan jahat korupsi. Buku ini menguraikan penyebab korupsi dengan disertai contoh konkret berbagai kasus korupsi yang terkait.

Diharapkan para pembaca dapat menarik pelajaran dari buku ini sehingga dapat lebih sensitif,  tidak mudah terjebak, dan terus terjaga dari berbagai godaan dan tekanan korupsi. Lebih jauh lagi, diharapkan kita semua warga NKRI berkewajiban untuk melakukan perlawanan bersama terhadap segala macam tindak pidana korupsi. Anda dapat memiliki bukunya dengan melakukan pemesanan di sini.

2
1
Mengenal Politik Populisme Tuan Guru Bajang di Nusa Tenggara Barat

Mengenal Politik Populisme Tuan Guru Bajang di Nusa Tenggara Barat

Baru-baru ini Tuan Guru Bajang mengalami perlakuan diskriminatif di Singapura. Perlakuan diskriminatif ini kemudian mendorong kemarahan masyarakat (termasuk di Nusa Tenggara Barat) yang meminta agar pelaku diskriminasi itu dikenakan sanksi hukum. Mengingat kurang dikenalnya Tuan Guru Bajang dalam kancah nasional, tulisan ini akan mengenalkan siapa Tuan Guru Bajang melalui perspektif politik populisme.

—-

 

Berbicara soal populisme, maka kita akan dihadapkan pada pertanyaan siapa aktor dan bagaimana perannya dalam merumuskan kebijakan terhadap kepentingan rakyat. Konsep populisme dalam praktiknya sebenarnya bukanlah barang baru dalam realitas kehidupan sosial kita. Ketika populisme itu kita definisikan sebagai pola perilaku atau karakter kepemimpinan yang dekat dan selalu berpihak pada kepentingan rakyat dengan segala bentuk kerja dan program yang benar-benar untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat, maka ribuan tahun bahkan jutaan tahun lalu populisme dalam dimensi sosialnya telah dipraktikkan oleh para pemimpin umat (para nabi). Orang-orang suci tersebut, menanamkan nilai-nilai idealisme hidupnya dengan mendedikasikan hampir seluruh hidupnya bagi kepentingan kebaikan, kebenaran, dan kesejahteraan rakyat (baca: umatnya).

Sebagai contoh adalah Umar Bin Khatab sahabat Nabi Muhammad SAW yang menjabat sebagai khalifah pada tahun 13 H atau tahun 634 M. Dalam praktik kepemimpinannya sebagai seorang khalifah (pemimpin umat), Umar Bin Khatab telah mempraktikkan bagaimana kepemimpinan populisme itu bekerja secara semestinya. Ketika rakyatnya mengalami kelaparan akibat krisis ekonomi, sang khalifah secara langsung turun ke lapangan melihat kondisi rakyatnya. Bahkan, ketika mendapati rakyatnya yang miskin dia tak segan untuk membawakan gandum dengan dipikulnya sendiri. Ia menjadi pemimpin sederhana yang dicintai rakyatnya. Praktik kepemimpinan populisme seperti kebijakan yang melindungi dan memprioritaskan kesejahteraan bagi kaum fakir, miskin, dan anak yatim piatu dalam pemerintahannya adalah bentuk nyata bahwa populisme secara empiris telah lama ada dalam realitas kehidupan sosial politik kita.

Sebelum kita dapat mengkaji populisme dalam sebuah proses demokrasi, dalam hal ini bagaimana politik populisme dipraktikkan dalam pola kepemimpinan Muhammad Zainul Majdi dalam kapasitasnya sebagai Gubernur NTB, kita perlu membuat batasan yang jelas tentang apa itu populisme.

Dewasa ini para ilmuwan sosial, belum menemukan satu definisi tunggal bagaimana mengartikan apa itu populisme. Meminjam istilah Margareth Canovan (1999) bahwa “`populism’ is a notoriously vague term”, dalam konteks ini pendefinisian terhadap populisme mengalami arti yang masih samar-samar. Namun demikian Canovan menyebutkan bahwa untuk memahami populisme sebagai sebuah fenomena politik dalam masyarakat, maka kita bisa menganalisisnya dari perspektif ideologi dan konten kebijakan dari gerakan populis dan berkonsentrasi pada pertimbangan struktural. Populisme dalam masyarakat demokratis modern bisa dijadikan sebagai media pembanding masyarakat terhadap dua struktur kekuasaan antara ide-ide yang dominan dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Model struktural ini pada gilirannya menentukan kerangka karakteristik legitimasi populisme sebagai gaya politik dan suasana hati.

Ernesto Laclau mendefinisikan bahwa populisme sebagai gerakan politik multi-kelas dan supra-kelas yang hadir dalam momen politik rapuhnya hegemonik kekuatan politik dominan sehingga memberi peluang munculnya struktur kesempatan politik baru bagi gerakan politik akar rumput yang dipimpin oleh pemimpin kharismatik untuk mengartikulasikan wacana radikal anti-kemapanan. Menurut kamus Bahasa Indonesia, populisme diartikan sebagai paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil.

Christa Deiwiks dalam artikelnya “populism” (2009), menyebutkan dua aspek penting ketika mengkaji tentang populisme, pertama, fokus pada orang atau pribadi orang tersebut dan juga kedaulatannya yang melekat pada dirinya, dan kedua adalah aspek pertentangan yang dia sebut sebagai antagonisme antara pribadi orang tersebut dengan struktur kuasa yang berada di luar dari dirinya, seperti elit dalam demokrasi perwakilan, orang asing, dan sebagainya.

Selanjutnya Christa Deiwiks kemudian menyebutkan 3 (tiga) faktor yang menyebabkan lahirnya populisme. Pertama, adalah karena kondisi sosial ekonomi yang buruk atau adanya krisis yang terus berulang. Kedua, masalah ketidakpastian dari lembaga-lembaga politik yang diduga terkait dengan atau bahkan menyebabkan munculnya populisme. Dan ketiga, adanya pemimpin kharismatik mengadopsi gaya tertentu dan retorika yang memiliki karakteristik sebagai sebuah gerakan populis.

Berangkat dari batasan populisme Christa Deiwiks di atas, maka penulis  mencoba mengkaji tentang konsep populisme Muhammad Zainul Majdi dalam kepemimpinannya sebagai gubernur di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan untuk mengetahui latar belakang pembentuk politik populisme Muhammad Zainul Majdi dalam membangun NTB.

Siapa Tuan Guru Bajang?

Tuang Guru Bajang terlahir dengan nama Muhammad Zainul Majdi. Ia adalah putra ketiga dari pasangan HM Djalaluddin SH, seorang pensiunan birokrat Pemda NTB dan Hj. Rauhun Zainuddin Abdul Madjid, yang merupakan putri dari TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid (Tuan Guru Pancor), pendiri organisasi Islam terbesar di NTB, Nahdlatul Wathan (NW) dan pendiri Pesantren Darun-Nahdlatain. Ia lahir di Pancor, Selong Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 31 Mei 1972.

Sebutan Tuan Guru Bajang adalah gelar ulama muda yang disematkan padanya dari masyarakat Sasak. Masa mudanya sebagian besar dihabiskan di bangku pendidikan agama Islam. Ia memulai pendidikan dasar di SDN 3 Mataram (sekarang SDN 6 Mataram). Pada tingkat SLTP, ia bersekolah di Madrasah Tsanawiyah Mu’allimin Nahdlatul Wathan Pancor, lulus dalam 2 tahun, dan melanjutkan pada Madrasah Aliyah di yayasan yang sama tahun 1991.

Sebelum melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, di tahun 1991-1992, Majdi mengikuti program menghafal Al-Qur’an di Ma’had Darul Qur’an wal Hadits Nahdlatul Wathan Pancor selama setahun. Pada tahun 1992, ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Universitas Al-Azhar Kairo. Tahun 1996 ia lulus meraih gelar Lc. Selanjutnya, ia meraih gelar Master of Art (M.A.) dengan predikat “jayyid jiddan”. Artinya, ia lulus dengan predikat “sangat baik”, satu tingkat di bawah “cemerlang” atau “excellent”.

Pendidikan Strata Tiga (S3) dilanjutkan pada jurusan dan universitas yang sama. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Said Muhammad Dasuqi dan Prof. Dr. Ahmad Syahaq Ahmad ia menyelesaikan disertasinya dengan judul “Studi dan Analisis terhadap Manuskrip Kitab Tafsir Ibnu Kamal Basya dari Awal Surat An-Nahl sampai Akhir Surat Ash-Shoffat”. Pada tanggal 8 Januari 2011, ia lulus dengan predikat “martabah el-syaraf el ula ma`a haqqutba” atau “summa cumlaude”, suatu predikat tertinggi di dunia akademik di atas predikat “magna cumlaude”.

Proses pendidikan yang banyak dihabiskan di sekolah yang berbasis Islam serta berlatar belakang keluarga yang merupakan pendiri Nahdlatul Wathan (NW) memberikan karakter khas pribadi Majdi, yang tentunya nanti berdampak pada perilaku dan pemikirannya dalam kehidupan sosial.

Karakter khas itu membuat Majdi tampil sebagai seorang intelektual “nan religius”. Karakter ini bisa dilihat kemudian sebagai “idiologi” yang tanpa sadar membentuknya dan termanifestasikan dalam kepemimpinannya ketika menjadi gubernur. Sebagai contoh, pendekatan kebijakan pemerintahannya selalu bertendensi kepada kepentingan rakyat dan memiliki basis logika religius.

Berangkat dari latar belakang ideologis yang religius, sebagai contoh lagi, pada periode pertama menjadi gubernur (2008-2013), Majdi mengubah slogan NTB dari “Bumi Gora” menjadi “Bumi Qur’an”, dengan membumikan Qur’an pada anak-anak melalui pendidikan.

Prestasi Nyata

Nama seperti Muhammad Zainul Majdi begitu terisolasi dari pemberitaan media. Padahal kalau kita lihat secara objektif apa yang telah dilakukan oleh Muhammad Zainul Majdi dalam kapasitasnya sebagai Gubernur dalam membangun dan memajukan Nusa Tenggara Barat bangkit dari ketertinggalan adalah sebuah prestasi yang luar biasa yang kemudian membuat kita percaya bahwa ternyata masih ada sosok pemimpin yang memiliki prestasi dan visi serta karya nyata yang baik bagi pembangunan dan kemajuan masyarakat. Salah satu karakter kepemimpinan populis sang gubernur termuda di Indonesia adalah konsistensinya dalam memperjuangkan aspirasi dan kesejahteraan masyarakat NTB.

Konsistensi idealisme itu kemudian membawa dampak yang signifikan bagi kemajuan ekonomi masyarakat. Karenanya, sejak tahun 2009 atau di awal kepemimpinannya menjadi gubernur NTB, ia juga telah menorehkan banyak prestasi berupa berbagai penghargaan nasional bahkan internasional.

Pusaran Politik

Pada tahun 2007, Muhammad Zainul Majdi terpilih sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatun Wathan (PBNW) Pancor.  Melalui organisasi ini, ia aktif memberikan tausyiah di masyarakat. Ia kemudian menjadi dekat dengan jamaah wirid, jama’ah hizib, dan jama’ah tarekat. Pengajian ini adalah medium yang sangat efektif untuk menyampaikan hal-hal yang terkait pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan lain-lain.

Majdi tidak hanya terhubung pada lingkarannya saja (warga NW), tetapi juga lintas suku (Sasak, Samawa, Mbojo), lintas bahasa, dan lintas keyakinan, yang terbangun beriringan dengan aktivitas dakwah yang dijalankannya. Ia tak segan-segan terjun ke pelosok-pelosok desa di Lombok dan Sumbawa.

Pada tahun 2004, oleh Yusril Ihza Mahendara yang juga Ketua Majelis Syuro PBB yang begitu kagum dengan kepribadian Tuan Guru Bajang karena kepribadiannya yang bersahaja, maka melalui Partai Bulan Bintang Muhammad Zainul Majdi diusung sebagai menjadi calon anggota DPR dan kemudian terpilih menjadi anggota DPR RI untuk periode 2004-2009 dari daerah pemilihan NTB.

Ditengah perjalanannya sebagai anggota DPR, tahun 2008 Muhammad Zainul Majdi dicalonkan sebagai gubernur berpasangan dengan Badrul Munir (seorang birokrat daerah) pada pemilihan Gubernur NTB periode 2008-2013 yang didukung Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di usianya yang masih muda (36 tahun) itu sang Tuan Guru terpilih menjadi gubernur NTB dengan perolehan suara mencapai 36 persen.

Dalam posisinya sebagai Gubernur NTB, Muhammad Zainul Majdi kemudian terpilih sebagai Ketua DPD Partai Demokrat (PD) NTB 2011-2015. Zainul terpilih secara aklamasi dalam Musda II Partai Demokrat NTB yang berlangsung di Grand Legi Hotel, Mataram, Lombok, pada tanggal 3 April 2011. Bagi Tuan Guru konsep politik santun adalah hal yang paling mendasar dalam kepemimpinan politik.

Selanjutnya pada Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2013-2018, Muhammad Zainul Majdi kembali mengikuti kontestasi elektoral sebagai calon Gubernur NTB. Muhammad Zainul Majdi berpasangan dengan Muhammad Amin (TGB-Amin) yang didukung oleh Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PPP, PAN, Partai Gerindra, dan PKB.  Pada pemilu yang dilaksanakan pada 13 Mei 2013, pasangan TGB-Amin dinyatakan menang oleh KPU dengan raihan suara 1.038.642 pemilih atau 44,36 persen suara.

Politik Populisme Tuan Guru Bajang

Di tengah kondisi masyarakat NTB yang mengalami keterpurukan ekonomi, Muhammad Zainul Majdi hadir untuk mengambil peran sebagai seorang pemimpin, bukan sebagai seorang penguasa. Sebagai seorang pemimpin ia memiliki kepentingan untuk bagaimana mensejahterakan masyarakatnya melalui kebijakan dan program yang benar-benar untuk kemaslahatan rakyat NTB. Kebijakan dan program yang berpihak pada rakyat itulah jalan politik populisme Tuan Guru Muhammad Zainul Majdi dalam memimpin Provinsi NTB untuk maju mengejar ketertinggalan. Aktualisasi kebijakan populisme itu terlihat dari program unggulan yang ditujukan bagi peningkatan ekonomi masyarakat NTB, salah satunya adalah Program Lumbung Bersaing.

Program Lumbung Bersaing ini adalah bentuk manifestasi konsep idiologis Muhammad Zainul Madji dalam kapasitasnya sebagai Gubernur yang kemudian dituangkan dalam visi-misi pemerintah Provinsi NTB, yang berlandaskan pada 5 (lima) nilai dalam membangun Nusa Tenggara Barat, yakni: Kerja Keras, Kesungguhan, Komitmen, Kebersamaan, dan Keberpihakan kepada rakyat.

Politik populisme yang dipraktikkan Tuan Guru Bajang dalam kepemimpinan di NTB tampak jelas dari pola kebijakan pemerintahan dalam membangun NTB. Kehadiran Program Lumbung Bersaing adalah program yang tujuannya adalah untuk pengentasan kemiskinan masyarakat sekaligus untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat NTB.

Secara sosiologis, politik populisme Tuan Guru Bajang terbentuk karena faktor kultural. Faktor kultural adalah faktor lingkungan sosial di mana ia dibesarkan dalam kehidupan keluarga, yang memegang teguh konsep dan nilai-nilai religiusitas serta dipengaruhi pola pendidikan Islam. Hal ini yang kemudian membentuk sisi ideologisnya yang religius, yang melihat bahwa kehidupan dan kepemimpinan adalah pengabdian dan keberpihakan pada kepentingan rakyat sebagai bagian dari ibadah sosialnya. Point penting dari nalar legitimasi politik Muhammad Zainul Majdi dipentas politik NTB adalah tidak terbentuk karena pragmatisme kekuasaan, atau karena pengaruh basis modal kapital yang kuat tapi lebih disebabkan oleh nilai-nilai idiologis yang terbentuk secara sosial melalui struktur pendidikan dan kultur lingkungan sosial yang Islami.

 

 

0
0