Tone at the Top:  Atmosfir Etis dari Pimpinan Instansi

Tone at the Top: Atmosfir Etis dari Pimpinan Instansi

Oleh: EVAN EVIANTO*

Belum lama ini, saya ditugaskan oleh kantor untuk menjadi narasumber pada sebuah unit diklat kementerian. Di sana saya bertemu dengan kepala bidang penyelenggara yang ternyata baru menjabat 4 bulan. Dalam sebuah kesempatan diskusi mengenai penyelenggaraan diklat ternyata yang bersangkutan di telpon oleh seseorang. Karena telepon genggamnya diletakkan di meja secara tidak sengaja terlihat jelas bahwa yang menelepon adalah seorang wanita dan tertulis di display jabatan si penelepon yang tidak lain adalah bos-nya.

Jadi yang menelepon si kabid tersebut tak lain adalah bu bos atasan langsungnya. Berulang-ulang telepon itu berdering tetapi tidak diacuhkan oleh si kabid. Si kabid tetap berdiskusi dengan saya. Diskusi kami berhenti ketika ada seorang pegawai yang masuk ke ruangan tempat kami berdiskusi dan ternyata orang tersebut menyampaikan pesan bahwa si kabid dipanggil ke ruangan bu bos.

Lepas sore si kabid dan saya bertemu kembali dan menyampaikan bahwa dirinya diperintah untuk menandatangani dokumen pelaksanaan kegiatan yang sebenarnya bukan merupakan tanggung jawab bidang yang dipimpinnya. Kegiatan tersebut dilaksanakan oleh orang lain. Si kabid sudah berusaha secara maksimal menghindari menandatangani dokumen tersebut karena sadar dengan konsekuensi yang harus dihadapi bila ia tetap menandatanganinya. Ia pun beralasan kegiatan tersebut bukan merupakan tugas dan fungsi dari bidang yang dipimpinnya. Namun karena diperintah oleh bu bos si kabid akhirnya terpaksa menandatanganinya.

Jauh beberapa tahun yang lalu di awal-awal penerapan otonomi daerah, saya mendapat penugasan untuk melakukan inventarisasi aset daerah pada sebuah dinas di sebuah kabupaten di pulau Sumatera. Dalam melaksanakan inventarisasi tersebut salah satu dokumen sumber yang kami gunakan adalah kontrak pengadaan barang yang dilaksanakan pada tahun tersebut. Dan pada saat dilakukan inventarisasi diperoleh hasil bahwa ada beberapa barang yang ternyata secara fisik tidak ada di kantor dinas tersebut.

Sebagai bagian dari prosedur penugasan lalu permasalahan tersebut saya konfirmasikan pada kepala dinas. Dan ternyata jawaban yang diberikan kepada saya dan kawan-kawan cukup mengejutkan. “Memang barangnya gak ada Mas, masih di toko”, jawab si kepala dinas tanpa ragu-ragu.  Ternyata kontrak dan berita acara penerimaan barang fiktif semua.

Kemudian si kepala dinas menyampaikan kendala-kendala yang dihadapi dalam pengelolaan anggaran di pemda tersebut, yang salah satunya adalah ada sebuah ‘kebijakan’ dari pimpinan pemda (pak bupati) dimana setiap dinas harus merelakan anggaran kantornya dipotong sekian persen oleh si bupati sehingga sebagai konsekuensi dari adanya potongan anggaran ilegal tersebut kepala dinas meng-SPJ-kan bukti-bukti pengeluaran yang tidak sah. Dan selanjutnya seiring perjalanan waktu, sang bupati pun akhirnya divonis hukuman penjara oleh hakim pengadilan tipikor atas korupsi APBD di daerah yang dipimpinnya.

Kedua fragmen tersebut adalah sebuah kejadian riil yang menurut hemat saya bisa jadi sering juga terjadi di institusi pemerintahan. Kondisi dimana seorang midle level atau lower level manajer di sebuah instansi pemerintah harus menjalankan perintah atasan tertinggi di organisasinya untuk melakukan sebuah pelanggaran aturan. Padahal si manajer paham apa yang dilaksanakannya sebenarnya menyalahi ketentuan dan tidak sesuai dengan kaidah pertanggungjawaban kegiatan dan anggaran yang seharusnya. Tetapi disisi lain si manajer pun tidak mempunyai pilihan kecuali ia tunduk pada perintah si atasan meskipun ia tahu perbuatannya salah dan melanggar hukum. Dalam kondisi yang lebih buruk, manajer-manajer yang tetap berkomitmen menjunjung tinggi nilai etika malah digusur alias di-nonjob-kan oleh pimpinan instansi.

Mudah-mudahan apa yang menjadi hipotesis saya sebelumnya mengenai praktik-praktik buruk yang saya gambarkan  di atas sering terjadi di instansi pemerintahan salah yah. Alangkah mengerikan bila hal-hal yang demikian ternyata secara masif terjadi di instansi pemerintahan kita.

Apa jadinya bila seorang pimpinan instansi, menteri, pimpinan lembaga atau kepala daerah dengan kewenangannya secara sadar membuat suasana tidak kondusif dan berbuat tidak etis dengan membuat kebijakan dan perintah yang sebenarnya bertentangan dengan peraturan perundangan alias melanggar hukum. Bisa jadi ribuan trilyun rupiah anggaran di instansi pemerintah akan menjadi sia-sia tanpa hasil yang berarti. Trilyunan rupiah yang dihabiskan gagal membawa perubahan kondisi bangsa dan negara menjadi lebih baik. Menyedihkan sekali bila ini terjadi di negara kita.

Beberapa penelitian internasional menyimpulkan bahwa terdapat kaitan yang erat antara korupsi (fraud) dengan  tone at the top di dalam sebuah organisasi. Tone at the top berkaitan dengan suasana etis yang diciptakan oleh pimpinan organisasi di tempat kerja. Dalam tataran operasional bisa dimaknai tone at the top sebagai irama atau warna atau  sikap pemimpin organisasi yang menunjukkan adanya nilai etika.

Sikap etis apapun yang dilakukan oleh seorang pimpinan akan berdampak pada perilaku bawahan. Bila seorang pimpinan instansi menegakkan nilai etika dan integritas, maka para aparatur di bawahnya akan menjunjung tinggi nilai etika. Dan sebaliknya bila unsur pimpinan instansi tidak menganggap penting  nilai-nilai etika dalam pekerjaannya dan hanya memfokuskan pada praktik etika oleh bawahan maka bawahannya akan lebih cenderung melakukan fraud karena bawahan akan menganggap bahwa perilaku etis bukan fokus prioritas di dalam organisasi. Bawahan akan melihat dengan jelas perilaku dan tindakan bos-nya, dan mereka akan mengikuti perilaku dan tindakan bos-nya yang tidak memiliki komitmen dengan nilai-nilai etika.

Singkat kata, bawahan akan melakukan apa yang dilihat langsung dari pimpinannya. Peribahasa ‘guru kencing berdiri murid kencing berlari’ terasa sangat pas untuk menggambarkan kondisi dimana pimpinan instansi tidak mempunyai komitmen  melaksanakan perilaku etis di organisasinya dan berdampak bawahannya akan menjadi lebih buruk lagi dibanding pimpinannya.

Dunia bisnis pun telah merekam jejak keserakahan para eksekutif perusahaan yang telah menghancurkan ratusan perusahaan. Siapa yang tidak mengenal Ken Lay, Jeffrey Skilling, and Andrew Fastow dari Enron atau Bernie Ebbers dari MCI/WorldCom. Mereka adalah beberapa contoh pimpinan yang gagal menerapkan tata kelola yang baik di perusahaannya. Mereka adalah sedikit contoh pimpinan perusahaan yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan fraud. Mereka adalah para CEO jahat yang mengirimkan sebuah pesan yang jelas bagi bawahannya bahwa melakukan fraud diperbolehkan sepanjang menguntungkan pimpinan dan organisasi. Pada akhirnya perusahaan mereka ditutup oleh pihak yang berwenang, yang mengakibatkan banyak pekerjanya menjadi pengangguran dan  para pemegang saham perusahaan menderita banyak kerugian.

Bila fraud terjadi pada perusahaan dampaknya akan dirasakan oleh sebagian masyarakat saja. Tapi bisa kita bayangkan kerugian apa saja  yang akan ditanggung oleh masyarakat bila yang melakukan fraud adalah seorang pimpinan instansi pemerintahan di kementerian atau lembaga atau di pemerintah daerah maka sangat mungkin dampaknya akan luas sekali. Akibatnya program pemerintah akan mengalami kegagalan sehingga target-target pembangunan pun menjadi tidak tercapai dan berdampak pada kegagalan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu, sangat penting sekali bagi seorang pimpinan instansi untuk memberikan ‘atmosfir yang baik’ (right tone) bagi bawahan dan organisasi. Sehingga hal ini akan menjadi landasan bagi seluruh pegawai di instansinya untuk melaksanakan seluruh program dan kegiatan dengan senantiasa komitmen dengan nilai-nilai etika.

Nicole Sandford, salah seorang konsultan manajemen dari firma terkenal Deloitte, mengatakan bahwa membangun tone at the top yang baik jauh lebih penting dibandingkan dengan kegiatan pemeriksaan ketaatan. Menurut Sandford, tone at the top adalah kebutuhan bagi semua pimpinan dan lebih khusus lagi bagi pimpinan tertinggi di instansi (CEO). Pimpinan tertinggi instansi adalah cerminan wajah dari organisasi dan menjadi figur utama dimana pada saat bawahan akan mencari visi, panduan dan kepemimpinan.

Dengan demikian tone at the top adalah kebutuhan semua pimpinan instansi pemerintah, mulai dari yang tertinggi presiden, kemudian para menteri, pimpinan lembaga, kepala daerah, pimpinan kepolisian serta pimpinan instansi pemerintah lainnya sampai ke unsur pimpinan level terbawah.

Bila pimpinan instansi ingin mencapai sasaran dan tujuan instansinya maka mau tidak mau harus membangun tone at the top, membangun budaya etis dimulai dari dirinya. Kesadaran pimpinan instansi dalam membangun dan menerapkan suasana etis dalam menyelenggarakan pemerintahan pada berbagai level pemerintahan akan berdampak positif pada perwujudan pemerintahan yang bersih dan layanan publik yang semakin efisien dan efektif, yang selanjutnya dapat mengantarkan bangsa dan negara pada kesejahteraan.

 

*) Widyaiswara pada Pusdiklat Pengawasan – BPKP

0
0
Banyak-Cepat-Perlahan: Trump vs Ahok

Banyak-Cepat-Perlahan: Trump vs Ahok

Saat duduk di bangku kuliah kebijakan publik 6 tahun lalu, saya berpapasan dengan perdebatan seru dan mendalam antara perubahan yang “perlahan di pinggiran” dengan “perubahan yang cepat dan mendasar”. Dalam bahasa kebijakan publik, perseteruan itu dikenal dengan istilah incrementalism vs rational comprehensive, marginal vs big bang, evolusi vs revolusi, modernisasi vs reformasi vs transformasi (Awas, tiga terminologi yang terakhir ini agak susah dipahami dan cenderung dimaknai sama di abad 21 ini).

Dalam dunia akademis dan praktis, masing-masing sisi punya pendukung fanatiknya. Masing-masing memiliki argumen, landasan teori, referensi, contoh kasus, dan “bukti” yang memadai dalam konteks perdebatan akademis kebijakan publik. Ada yang bertahan pada pendirian, bahwa secara alami perubahan sehari-hari terjadi secara perlahan atau dikenal dengan istilah evolusi. Lihatlah contohnya, tidak ada bayi yang lahir tiba-tiba bisa berjalan, atau anak sekolah dasar tiba-tiba bisa menguraikan perhitungan kalkulus dengan mulus. Atau, mendadak seorang anak lahir, langsung menikah, ngunduh mantu, nikah lagi, lalu punya cucu dalam rentang waktu 30 tahun. Itu dongeng.

Alam mengajarkan kita bahwa perubahan itu terjadi perlahan-lahan dan cenderung linear baik dalam kenaikan maupun penurunan. Lihatlah perokok. Betapa sulit baginya untuk tiba-tiba berhenti. Katanya niat dulu, kurangi sebatang dua batang lalu lama-lama hilang. Sebaliknya, kebiasaan merokok juga sama saja, pertama-tama melihat. Kemudian mencoba, batuk-batuk, mencoba lagi, lalu lama-lama jadi biasa.  Tidak ada yang tiba-tiba kenal rokok, langsung merokok sebungkus sehari sambil minum kopi pahit pula.

Banyak contoh bahwa semua perubahan itu sifatnya hanya tambah-kurang 1%,2%, 5%, 10%, atau mungkin 20%. Untung berdagang juga cenderung seperti itu. Untung sedikit, bertambah dikit, berkurang sedikit, merugi sedikit, kembali untung lagi, dan lagi. Jarang yang tiba-tiba untung 50%, 75% atau 120%. Kecuali berjudi atau spekulasi.

Sedangkan para pendukung revolusi, big-bang atau transformasi menginginkan perubahan yang mendasar, fundamental, tidak mau tanggung-tanggung, dan cenderung terdengar retoris. Seperti ungkapan yang sering kita dengar: Sampai kapan begini-begini saja? Hari ini harus (jauh) lebih baik dari hari kemarin! Kalau bukan kita siapa lagi? Pilihannya merubah diri sendiri atau dirubah orang lain? (lebih sakit mana?). Pendukung pemikiran ini seperti diberi amunisi oleh Einstein saat melempar pernyataan yang menohok bahwa “menginginkan sesuatu yang luar biasa dari cara-cara yang biasa adalah suatu kegilaan”. Kalau Einstein yang bilang gila, siapa pun orangnya akan mikir-mikir juga untuk membantahnya.

Konon, Korea Selatan yang dulu ekonominya sama dengan Indonesia di tahun 1940-1950, melakukan hal yang revolusioner (extra-ordinary), setelah sebelumnya Jepang sudah lebih dulu melakukan lompatan. Meskipun Jepang belakangan agak melambat pertumbuhan ekonominya – cenderung mendekati nol di dalam negeri dan bahkan kalau menyimpan uang di bank bunganya minus – namun jangan tanyakan kiprahnya di kancah Internasional. Kalau tidak percaya, jawab saja pertanyaan ini: Merek mobil apa yang sulit untuk disalip di jalan raya?

Kembali ke diskursus kebijakan publik. Mungkin itulah yang dirasakan publik Amerika pada delapan tahun pemerintahan Obama dengan dukungan partai demokratnya. Nyonya Clinton yang juga kandidat partai demokrat dipersepsikan akan cenderung meneruskan kebijakan Obama. Sebaliknya, semboyan Trump membuat Amerika “Jaya Kembali”, memiliki ciri perubahan transformatif, revolusioner. Dan memang DNA ke-Amerika-an itu cenderung revolusioner. Dari zaman dahulu rasa ingin tahu dan keinginan berubahnya tinggi. Kalau tidak, siapa yang kuat menyeberangi samudera Atlantis dari Eropa bermigrasi ke benua baru (Amerika) dan sudah lebih dulu dihuni oleh bangsa Indian yang terkenal sebagai petarung keras? Jadi mencoba hal baru memang sudah ada di DNA mereka. Cepat bosan dengan hal yang biasa-biasa saja. Mungkin itu juga yang membuat banyak penemuan penting lahir di sana.

Kembali ke Trump. Latar belakang Trump yang bukan politisi, melainkan pengusaha dalam berbagai bidang – termasuk pemilihan ratu sejagat, menjadi “jualan” yang menarik bagi mayoritas publik Amerika yang menginginkan suasana baru. Terbukti, kampanye Trump jauh berbeda dibandingkan dengan para kandidat yang lain. Termasuk caranya membuat kebijakan yang terkesan tidak bisa dibaca oleh lawan politik, bahkan kolega di sekitarnya. Meskipun kontroversial, pada akhirnya kebijakan yang dibuat Trump adalah untuk mewujudkan janji kampanyenya.

Namun, riuhnya respon publik Amerika dan global menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah menginginkan perubahan yang cepat tidak sama dengan kemampuan menerima perubahan itu sendiri? Atau sebaliknya, seandainya Trump melakukan kebijakan yang berbeda dengan janji kampanyenya, maka akan dianggap berbohong? Kenapa rakyat selevel Amerika yang DNA-nya transformer, dimana rata-rata tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita penduduknya tinggi, justru cenderung sulit menerima perubahan yang sebelumnya sudah disampaikan lewat kampanye? Apalagi golongan yang tidak bisa menerima perubahanTrump? Termasuk para elit partai Republik yang dulu mendukung Trump dalam kampanyenya, dan para ahli IT yang terbiasa dengan perubahan yang cepat.  Bukankah Trump dihasilkan dari proses pemilihan yang demokratis?

Ahok bukanlah Trump. Rakyat Indonesia bukan pula Rakyat Amerika. Membandingkan keduanya tentu sulit dan cenderung tidak relevan. Tetapi dalam konteks perubahan incremental vs revolusi saya melihat ada kecenderungan yang sama. Serupa tapi tak sama. Ada kemiripannya, begitu kira-kira. Meskipun dalam pengalaman sebagai pejabat publik tentu Ahok sudah lebih dulu menjabat ketimbang Trump. Tetapi dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan atau yang akan dikeluarkan, Trump terlihat lebih revolusioner atau tidak biasa, tidak lazim, dan tidak bisa dibandingkan dengan kebijakan serupa.

Terlebih yang sudah dilakukan Ahok. Saya sebut beberapa dari yang sudah berseliweran di media, baik kebijakan maupun perilaku yang dilakukan Ahok, antara lain: mudah memecat dan mengganti pejabat; berkonflik, dan berkonfrontasi dengan DPRD; berkonfrontasi dengan BPK dan “tidak peduli” dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian; lebih memilih anggaran tidak terserap banyak daripada dipakai sebagai bahan bancaan korupsi; suka berucap “brengsek”, marah-marah dulu baru minta maaf; menertibkan bantaran sungai dengan tegas, tetapi juga menerima keluh kesah warga hampir setiap hari di Balai Kota; dan sekian banyak tindakan “kontroversial” yang mengundang banyak pro dan kontra. Kalau yang pro, daftar yang baik-baiknya pasti panjang sekali. Sebaliknya kalau yang kontra, daftar kejelekannya lebih panjang lagi.

DISCLAIMER

Saya tidak akan memberikan penilaian apakah perubahan yang dibuat  atau ditawarkan oleh kedua tokoh tersebut itu baik, benar, tepat, etis, atau sesuai konstitusi. Saya hanya mengaitkan fenomena Ahok dan Trump dalam konteks dikotomi konsep perubahan incremental vs big-bang sebagaimana saya sampaikan panjang lebar di atas.

Dikotomi “perubahan kecil, pelan, penyesuaian vs perubahan cepat, mendasar, korektif” semakin terasa sekali mengingat hasil Pemilu Amerika dan hasil Pilkada putaran I menempatkan adanya dua kubu (dengan jumlah suara berimbang, lebih kecil dari 5%). Kalau di Amerika dimenangkan oleh sisi perubahan komprehensif, revolusioner, ekstrim nasionalis yang fundamental. Setidaknya berdasarkan kebijakan Trump sejauh ini seperti pembatasan imigran dan pembangunan tembok di Meksiko. Sementara untuk di Indonesia masih akan menunggu putaran kedua.

Tetapi ada yang menarik dari apa yang disampaikan oleh mantan Menteri Keuangan Chatib Basri di acara Mezzanine Club Kamis 23 Februari lalu. Menurut beliau “Presiden akan cenderung “normal” setelah 6-9 bulan”. Menarik sekali. Jika boleh dimaknai, ada pemimpin yang menggebu-gebu saat akan menduduki suatu jabatan publik dengan segala retorika perubahan, konsep, ideologi, dan segudang inisiatif strategis. Tetapi setelah beberapa waktu, akan terjadi titik equilibrium, penyesuaian-penyesuaian di mana tercipta kesepakatan menuju perubahan yang cenderung stabil, dan perlahan. Semacam kompromi, win-win solution atau lose-lose solution. Nah, menurut saya hipotesa menarik ini akan mendapatkan salah dua lokasi pengujian empiris di Amerika dan (mungkin) di Jakarta.

Intermezzo sekaligus menutup dengan pertanyaan. Di tingkat nasional sejauh ini saya melihat dan membaca pemberitaan media masih menunjukkan aktivitas  “revolusi” setidaknya dalam bidang infrastruktur, mempertahankan keberagaman, dan negosiasi dengan asing. Bagaimana tidak, perusahaan sekelas Freeport pun ikut “berteriak” yang dulu-dulunya (mungkin) bisa diselesaikan “baik-baik”.  Pertanyaannya, seberapa cepat laju “revolusi” dari Jalan Medan Merdeka bisa bertransformasi dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas ke Pulau Rote? Apakah peran gubernur dan bupati/walikota penting untuk mengakselerasi perubahan yang cepat? Apakah peran non-government actors juga penting? Atau justru apakah “revolusi” itu penting? Buat siapa?

 

 

0
0