Birokrat Menulis*

Birokrat Menulis*

Penulis   : ADRINAL TANJUNG

Penerbit : Samudra Biru Yogyakarta

Terbit     : Desember 2016

Tebal      : xl + 212 halaman

ISBN       : 978-602-6295-01-9

Menulis itu bukan masalah pintar atau tidak pintar, melainkan masalah mau atau tidak. Setiap orang dapat menulis, persoalannya dapat menulis dengan baik atau tidak. Bagi sebagian orang, menulis bukan hanya proses kreatif tanpa makna, namun sudah menjadi sebuah profesi. Setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat mengeluarkan dan menuangkan ide serta gagasannya dalam bentuk tulisan, tetapi dapat memanfaatkan kesempatan itu atau tidak. Proses menulis itu tidak hanya dilakukan satu kali lantas langsung selesai, namun perlu ketekuanan, keteguhan, dan niat. Menulis merupakan aktivitas sederhana dan kerja kecil, tetapi berdaya besar. Ada pepatah “Jika ingin jadi orang besar, menulislah.”  Lewat menulis sejarah dan dunia akan mencatat dengan tinta emas sebuah karya yang akan terus mengharumkan namanya.

Dalam buku ini disebutkan , menulis bisa menjadi perekat persaudaraan dan persahabatan. Dalam tulisannya disebutkan bahwa peluang tidak datang dengan sendirinya, namun harus diciptakan. Hal terpenting adalah jujur, tulus, dan terus semangat. Birokrasi yang  identik dengan lamban, tambun, dan berbelit harus segera diubah. Dengan demikian program pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan yang responsif dan akuntabel maka perlu dilakukan reformasi birokrasi. Hal ini untuk mengubah anggapan masyarakat bahwa  berurusan dengan birokrasi itu ribet, lambat, dan susah.  Dengan begitu, ia ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa tidak semua birokrat seperti dugaan banyak orang. Dalam buku ini disebutkan bahwa masih ada birokrat yang giat bekerja, semangat menjalankan aktivitas, dan terus berkarya untuk menjadi teladan dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik.

Buku Birokrat Menulis mampu memotivasi banyak orang. Penulis terus berusaha mewujudkan impiannya dan mewajibkan dirinya untuk bekerja dengan penuh kedisiplinan, kepiawaian mengatur waktu, dan spirit hidup dengan senantiasa berpikir dan bertindak positif. Orang yang mampu mendisiplinkan waktu  dalam bekerja, hidupnya akan lebih produktif. Berkacalah pada negara besar dan maju yang selalu ditopang oleh budaya disiplin dan etos kerja  tinggi. Oleh karena itu, membiasakan diri mengerjakan segala sesuatu tepat waktu, teratur, dan terencana menjadi motto hidupnya.

Buku Birokrat Menulis memang istimewa. Dalam ulasannya disebutkan selama sembilan tahun berkarya, penulis telah menghasilkan lebih dari dua puluh judul buku. Mengapa begitu istimewa, bukankah menulis itu suatu aktivitas yang dilakukan oleh banyak orang? Tentu bukan hanya aktivitas menulisnya, melainkan juga sosok dibalik penulisan buku Birokrat Menulis ini. Ya buku ini menjadi sangat istimewa karena ditulis oleh seorang aparatur negara dengan jabatan Eselon III yang tentu mempunyai aktivitas sangat padat. Akan tetapi,  ia tetap berkarya, bahkan sangat produktif. Jarang ada birokrat yang mau dan mampu menulis hingga menghasilkan 27 buku. Perjalanan penulis sebagai PNS dalam dunia literasi, pastinya bukan hal yang mudah. Jadi, tentu harus diberi apresiasi yang luar biasa. Ketika banyak orang yang penasaran dan bertanya bagaimana  membagi waktu dan mengatasi berbagai hambatan, terutama dalam menyelami dunia literasi.  Penulis cukup menjawab dengan kalimat indah “Masukkan rumus cinta dalam kerja Anda. Itulah yang membuat serumit apa pun hambatan dapat terurai dan menemukan titik pencerahannya.”  Buku Birokrat Menulis memang dipenuhi tulisan motivasi yang mengajak pembaca untuk bergerak, berubah, semangat, dan kreatif dalam  meraih kesuksesan walaupun harus dengan berdarah-darah.

Dengan menulis pula  ia dapat bertemu dengan berbagai tipe orang di banyak tempat yang membuatnya semakin terus belajar tentang arti kehidupan. Dalam setiap perjalanan, ia selalu mengambil hikmah dan  pelajaran berharga dari setiap orang yang ditemuinya. Pentingnya rendah hati yang akan meninggikan derajat  dan harga diri seseorang. Tentang kebahagiaan yang tidak bisa dibeli dengan apa pun, kecuali keikhlasan dan ketulusan. Tetap ceria dan  tersenyum ketika masalah datang menghadang karena keyakinan dan prinsip bahwa masalah dan persolan itu akan selalu ada menyapa setiap orang. Jadi, hadapilah bukan malah ditinggal pergi.

Buku ini ditulis dari hasil belajar, membaca, dan pengalaman pribadi penulisnya.  Birokrat Menulis merupakan salah satu buku motivasi yang ditulis dengan bahasa sederhana, renyah, dan mudah dicerna. Buku ini bukan hanya ditujukan bagi para birokrat sebagai abdi negara, melainkan juga bagi semua kalangan yang butuh motivasi hidup, tertutama dal hal menulis. Buku motivasi ini banyak mengupas  tentang pentingnya mengatur waktu yang menjadi  kunci keberhasilan. Bagaimana menghadapi banyak tantangan, tetapi tetap eksis dalam karier dan kehidupan. Ia senantiasa yakin bahwa itulah kesempatan besar untuk naik level dan memaknai hidup lebih bijak.

Buku ini banyak memberikan sugesti yang sangat bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti kata-kata penggugah jiwa bahwa jangan takut dengan perubahan untuk menyongsong hari esok lebih baik. Perubahanlah yang akan membawanya mampu bersaing dengan generasi yang akan datang. Tanpa perubahan, kehidupan tidak akan pernah berarti.

Buku ini memang lebih banyak kelebihan daripada kekurangannya. Akan tetapi, beberapa kesalahan dari aspek kebahasaan, yang berkaitan dengan konjungsi idiomatik, seperti tertukarnya konjungsi berpasangan dalam  penulisan tergantung pada atau bergantung di yang seharusnya bergantung pada atau tergantung di, tidak hanya…, melainkan…  dan bukan hanya …, tetapi…. Seharusnya tidak hanya…, tetapi… atau bukan hanya…, melainkan…. Begitu juga yang berkaitan dengan kebakuan, seperti masih tertulisnya kata merubah, diminimalisir, massa depan, dll.  Kesalahan paling banyak pada aspek konjungsi intrakalimat dan antarkalimat. Kesalahan ejaan berupa tanda baca dan typo atau kesalahan mengetik pun kerap muncul dalam buku ini, seperti tangkah positif, memantabkan langkah, dll seharusnya adalah langkah positif, memantapkan langkah. Walaupun tidak sampai mengubah makna dan isi tulisan, tetapi cukup  mengganggu aspek keterbacaan.

Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini layak dimiliki oleh semua kalangan, khususnya untuk para birokrat yang mempunyai niat dan minat menulis. Menulis adalah aktivitas yang dapat dipelajari, dilatih, dan dikembangkan. Menulis bukan bakat yang dibawa sejak lahir. Menulis adalah keterampilan hidup. Kapan pun, di mana pun, dan kepada siapa pun menulis itu bisa diajarkan dan dilatihkan. Jadi, tidak ada alasan tidak bisa menulis.

Buku ini  menjadi makin berbobot dengan kehadiran tiga sambutan/pengantar yaitu dari Menteri Pendayagunaan Apartur Negara dan Reformasi Birokrasi H. Asman Abnur SE, MSi, Gubernur Sumatera Barat Prof Dr Irwan Prayitno, MSc, dan Bupati Sumbawa H.M Husni Djibril, BSc.  Dan dilengkapi beberapa testimony yaitu Rektor Universitas Riau Prof DR Aras Mulyadi DEA, Anggota DPD RI Fahira Idris, Deputi SDM Aparatur Kementerian PAN RB Dr Ir Setiawan Wangsaatmadja, Guru Besar Universitas Pasundan Bandung Prof Dr Hj Ummu Salamah MSi dan Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Energi Sumber Daya Mineral RI Agus Salim SH, MH. Birokrat Menulislah!

Anda dapat memiliki bukunya dengan melakukan pemesanan di sini.

 

*) Diresensi oleh ELI SYARIFAH, MSi, Dosen Editing STKIP Siliwangi Cimahi.

0
0
Benarkah Birokrat Jarang Menulis?

Benarkah Birokrat Jarang Menulis?

Ada sebuah pertanyaan. Mengapa birokrat terlihat jarang menghasilkan tulisan yang dikonsumsi masyarakat? Pada level individu, ada banyak jawaban untuk pertanyaan ini, seperti kurang berminat, merasa kurang terampil, atau tidak punya waktu.

Pada level institusi, sebenarnya tulisan yang dihasilkan birokrasi sangat banyak. Ada kajian, forecast, nota keuangan, term of reference, rekomendasi, briefing note, proses bisnis, standard operating procedure, analisis, modul, naskah akademis, rencana anggaran, rencana kerja, naskah pidato, nota dinas, tanggapan, rancangan regulasi, ketetapan, laporan, keterangan dan berbagai dokumen dalam beragam bentuk dan tujuan. Semua ini adalah tulisan. Secara umum, tulisan-tulisan tersebut memiliki kerumitan yang lebih tinggi dibandingkan dengan artikel di blog. Hanya saja mungkin tidak menjadi konsumsi masyarakat luas karena sifatnya atau karena batas publikasinya.

Melihat banyaknya produk tertulis yang dihasilkan birokrasi, pertanyaan yang lebih penting adalah seberapa transparankah birokrasi mempublikasikan tulisan-tulisan yang dihasilkannya. Dokumen-dokumen tersebut akan menunjukkan bagaimana sebuah kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan. Lebih dari itu, tulisan-tulisan tersebut sedikit banyak mempengaruhi dan mengungkapkan seberapa baik pelayanan publik, penghormatan terhadap demokrasi, pemuliaan hak-hak asasi manusia, dan pelaksanaan konstitusi.

Ada satu lagi jawaban kenapa mungkin tidak terlihat banyak tulisan yang dihasilkan seorang birokrat. Tulisan bukanlah produk akhir pekerjaan birokrasi. Seorang birokrat dituntut untuk membuktikan dan merealisasikan apa yang ditulisnya menjadi kenyataan. Dan ini lebih menantang dibandingkan dengan menghasilkan sebuah tulisan. Di dunia riil, seorang birokrat akan berhadapan dengan kondisi yang lebih kompleks dibandingkan dengan sebuah dunia ideal yang ada di benak atau tulisannya. Birokrat tersebut akan menghadapi pergulatan ide, kompetisi sumber daya, persaingan ego sektoral, rumitnya peraturan, resistensi pemangku kepentingan, penyesuaian sistem, perubahan cara kerja, serta berbagai keterbatasan dan tantangan yang lebih pelik dibandingkan dengan menghasilkan sebuah tulisan. Alhasil, merealisasikan satu gagasan saja pada dunia nyata menjadi lebih sulit dibandingkan dengan menulis berlembar-lembar halaman.

Pengalaman dan pengamatan saya menunjukkan bahwa untuk merealisasikan satu gagasan di pemerintahan bisa memakan waktu sampai dua tahun. Bahkan lebih. Bandingkan dengan menulis sebuah artikel di blog yang dapat dikerjakan dalam hitungan jam atau hari. Butuh stamina dan kreativitas yang lebih tinggi untuk merealisasikan sebuah gagasan dibandingkan dengan hanya menulis gagasan tersebut di atas kertas. Pada akhirnya, satu gagasan yang berhasil dilaksanakan dan dimanfaatkan oleh banyak orang akan lebih bermaslahat dari pada berlembar-lembar tulisan tapi tidak direalisasikan.

 

0
0
Buku Gratis, Malu Ah!

Buku Gratis, Malu Ah!

Ada cerita yang perlu saya bagi hari ini sesaat sebelum boarding menuju Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau untuk melakukan perjalanan dinas. Saya mencoba menuliskan cerita ini dan semoga cerita ini tidak menyinggung siapa pun. Niat saya adalah berbagi kisah tentang bagaimana menulis buku bukanlah proses instan. Namun, perlu perjuangan, sehingga saat ada seseorang yang ingin mendapatkan buku secara gratis, tampaknya perlu berpikir ulang.

Cerita itu bermula saat saya menggelar acara soft launching buku Birokrat Menulis 1 September 2016 di sebuah rumah makan di kawasan Jakarta Selatan. Launching buku sembari menguatkan tekat untuk tetap menulis yang telah dirintis sejak sembilan tahun lalu. Acara yang direncanakan berlangsung sederhana menjadi luar biasa karena dihadiri oleh Prof Dr Irwan Prayitno, Gubernur Sumatera Barat dan Andrinof Chaniago, mantan Menteri Perencanaan Pembanguanan Nasional/Kepala Bapennas. Alhamdulillah acara tersebut lancar dan sukses.

Namun, ada sebuah cerita lanjutan setelah itu. Seorang teman yang saya kenal via sosial media yang kebetulan menyempatkan hadir menanyakan buku Birokrat Menulis. Dia sepertinya begitu menginginkan buku tersebut plus tanda tangan saya. Saya kemudian meminta dia untuk menghubungi penerbit, karena stok di tangan saya tidak banyak. Setelah menghubungi penerbit lalu disampaikan bahwa buku tersebut dijual, tidak dibagi gratis. Gratis itu memang dambaan banyak orang. Tiket gratis, hotel gratis, dan makan gratis. Ada yang bilang romantis itu artinya rokok makan gratis.

Kadang saya merasa bangga memiliki banyak penggemar di beberapa tempat. Penggemar buku-buku yang saya tulis. Walaupun tidak banyak tapi hingga hari ini sebagian penggemar itu masih suka meminta buku gratis. Itu yang kadang membuat saya heran.

Jika ditelusuri bagaimana proses menulis dan menerbitkan buku yang butuh waktu, tenaga, pikiran, dan biaya mungkin yang minta-minta buku gratis akan berpikir ulang. Untuk tidak minta buku gratis lagi.

Meminta buku gratis kepada penulis seakan membuktikan mereka tidak suka dengan dunia kepenulisan. Mereka belum menjiwai tentang bagaimana sulitnya tentang dunia tulis menulis. Pasalnya, seorang yang menjiwai literasi pasti paham betul bagaimana perjuangan untuk mendapatkan sebuah inspirasi. Saya terbiasa mencari inspirasi dengan datang ke toko buku dan membeli beberapa buku setiap bulan bahkan bisa hampir dua minggu sekali. Saya kemudian menyempatkan diri untuk membacanya di tengah menumpuknya pekerjaan kantor. Setelah itu, saya menuliskan menjadi sebuah kisah-kisah harian, saya kadang kadang perlu terbang ke Pekanbaru, Yogyakarta, Padang, Manado, Sumbawa, dan kota-kota lain. Semua itu tentu tidak gratis. Perlu biaya untuk membeli tiket pesawat dan memesan hotel. Baru kemudian saya mendapatkan inspirasi dan tempat sebagai awalan sebuah cerita.

Menulis sebuah buku itu pada dasarnya membutuhkan banyak biaya. Hanya orang yang meresapi—untuk tidak menyebut gila—saja yang mau bersusah payah dengan ini. Saat ada seseorang yang memaksa untuk mendapatkan buku secara gratis, saya pun sedih. Mengapa orang itu tidak mau menghargai sebuah proses kreatif. No free lunch, tampaknya tidak hanya berlaku di dunia politik, namun dalam dunia literasi. Pasalnya, dunia ini hanya digeluti oleh sedikit manusia yang sungguh-sungguh. Manusia yang rela mengorbankan banyak waktu untuk mencumbui setiap kata.

Jadi, kesimpulan saya, jika masih ada niat untuk meminta buku gratis baiknya niat ini dihentikan. Kasihan penulis dan penerbit yang sudah bersusah payah menulis dan memproses hingga buku tersebut terbit. Bukankah buku tersebut dicetak tidak gratis dan membutuhkan biaya yang bukan berasal dari APBN/APBD. Bahkan menurut seorang teman dari penerbit, dengan nada setengah bercanda mengungkapkan jika masih ada orang yang suka mengemis meminta buku gratis,  baiknya tetap diberi, namun perlu membawa surat keterangan miskin dari kelurahan setempat.

Bandara Soetta, 9 Oktober 2016.

 

 

0
0