Bisakah Kita Berintegritas?

Bisakah Kita Berintegritas?

Oleh: M. JALU WREDO ARIWIBOWO*

 

Dalam tulisannya yang di unggah pada islamindonesia.id, Prof. Komar Hidayat menyatakan bahwa orang Denmark percaya bahwa semua kebaikan yang ada di negaranya berawal dari kejujuran. Pada saat seorang jujur maka semua fasilitas umum untuk rakyat akan terbangun dengan baik oleh pemerintah, sebagaimana mestinya sesuai standar mutu yang telah ditetapkan di segala bidang mulai dari kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan bidang lainnya dalam layanan publik. Masyarakat Denmark percaya bahwa kejujuran bisa melahirkan segalanya. Mereka juga percaya bahwa setiap manusia itu pintar, dengan kejujuran maka setiap kepintaran manusia akan menjadi manfaat bagi sesama dan seluruh negeri. Mereka yakin jika setiap aparat pemerintah jujur, mulai dari pejabat, menteri, polisi dan seterusnya dan rakyatnya jujur maka sebuah negara bisa menjadi makmur tanpa perlu menjadi yang paling pintar di bidang pendidikan.

Mungkin tidak hanya Denmark, hampir sebagaian besar negara di Eropa memiliki prinsip yang sama. Suatu pelajaran ketika penulis mendapat kesempatan mengunjungi negara kincir angin, bahwa kejujuran di sana sangat dihormati dan dijunjung tinggi. Ketika mendapat kesempatan berkunjung ke suatu instansi pemerintah, para pegawai pemerintah di sana memiliki prinsip bahwa pegawai pemerintah harus menjadi role model bagi warga negara. Artinya perilaku pegawai pemerintah sangat menjadi sorotan dari seluruh warga negara dan pegawai pemerintah wajib memberikan contoh yang baik dalam kesehariannya baik di kantor maupun di masyakarat. Sebagai contoh pegawai pemerintah dilarang menerima hadiah/pemberian dari siapapun yang nilainya lebih dari 50 Euro, ketika kami berikan cinderamata mereka menanyakan berapa kira-kira harga cinderamata tersebut. Tentu saja kami heran dengan pertanyaan tersebut, karena tidak biasanya di negara kita menanyakan berapa nilai dari hadiah yang diberikan. Kemudian mereka melanjutkan jika harganya kurang dari 50 Euro kami termia dengan senang hati, tapi jika lebih dari 50 Euro mohon maaf kami tidak bisa menerima. Amazing….kata saya dalam hati, seandainya hal ini terjadi di negara kita.

Wow…..beda sekali ya apa yang ada di Denmark dan Belanda dengan yang terjadi di negara kita. Penangkapan Bupati Klaten oleh KPK pada akhir tahun 2016 menjadi penutup tahun yang memperihatinkan bagi seluruh bangsa indonesia. Mahfud MD. mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Kenapa bisa ketangkap, ya karena Bupati Klaten sedang apes saja. Beliau juga menambahkan bahwa indeks ketaatan aparat pemerintah terhadap ideologi dan instansi di Indonesia sendiri memang rendah, yakni 0,25. Dalam tahun 2016 juga KPK menetapkan sepuluh kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi, serta dari 17 operasi tangkap tangan (OTT) sebanyak empat kepala daerah ikut terjaring. Menurut Iza Rumensten dalam artikelnya yang berjudul Korelasi Perilaku Korupsi Kepala Daerah dengan Pilkada langsung menyebutkan penyebab kepala daerah melakukan korupsi adalah karena tingginya biaya politik yang dikeluarkan ketika proses pemilihaan langsung.

Terkait dengan kasus jual beli jabatan tersebut, dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 Komite ASN mendorong untuk pengisian jabatan dilakukan secara lelang terbuka. Artinya, siapapun mendapat kesempatan yang sama asalkan memiliki kemampuan dan integritas yang memadai untuk mendapat jabatan. Salah satu faktor yang menyebabkan maraknya kasus jual beli jabatan ialah minimnya instansi yang menyelenggarakan seleksi jabatan dengan terbuka. Selain itu ada kemungkinan lelang jabatan itu proses yang disaru ditutupi dengan seleksi terbuka, padahal terjadi tawar menawar, proses sama tetapi ditutupi. Ketua KASN Sofian Effendi dalam Media Indonesia tanggal 03 Januari 2017 menyatakan bahwa: jika mau mengorek, calon bupati mau mengeluarkan miliaran untuk jadi bupati padahal gaji kecil, karena tahu dengan melelang jabatan dan formasi PNS dalam tahun kedua dan ketiga sudah balik modal, untungnya bahkan puluhan miliar rupiah.

Melihat informasi di atas dapat disimpulkan bahwa pejabat/aparat pemerintah utamanya para kepala daerah yang terpilih melalui pemilihan langsung cenderung untuk bertindak korup dan alasan utamanya adalah lack of integrity seperti yang di sampaikan oleh Pak Mahfud MD. Bukankah dalam naskah pelantikan pastilah para pejabat tersebut bersumpah tidak akan menerima dalam bentuk apapun dari siapapun juga yang patut dapat mengira bahwa pemberian itu terkait dengan tugas dan jabatannya. Atau jangan-jangan hanyalah sumpah palsu yang diucapkan.

Pada saat pak Jokowi terpilih beliau mencanangkan program revolusi mental di mana ada tiga nilai strategis yakni Intergritas, Etos Kerja, dan Gotong Royong. Dalam nilai Integritas diharapkan adanya birokrasi yang bersih, andal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan pemerintah yang terpilih. Di dalam PP 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) dalam unsur lingkungan pengendalian dan sub unsur Penegakan intergritas dan nilai etika dinyatakan bahwa pimpinan instansi pemerintah diwajibkan menegakkan integritas dan niai etika. Jelaslah bahwa banyak sekali aturan dan program yang mendorong terciptanya integritas bagi aparat pemerintah.

Infrastruktur maupun aturan yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan nampaknya sudah sangat lengkap di negaara kita ini, Namun sebaik dan sesempurna apapun aturan jika yang melaksanakannya tidak memiliki integritas yang tinggi akan percuma.Hal ini selaras dengan pandangan yang mengatakan pentingnya the man behind the system. Secanggih-canggihnya suatu sistem, maka masih tergantung kepada siapa yang menjalankan sistem tersebut. Sistem yang handal bisa rusak oleh beberapa gelintir orang yang menjalankan sistem tersebut. Contoh sudah cukup banyak, misalnya dalam kasus korupsi pelelangan proyek-proyek pemerintah, yang notabene sudah dipayungi peraturan, sistem dan mekanisme kerja yang rinci, namun tetap saja terjadi “sandiwara lelang”, mark up, kualitas pekerjaan yang rendah, kebocoran di sana-sini, dan sebagainya oleh orang-orang dalam birokrasi pemerintahan sendiri. Upaya merekrut orang-orang yang berkemampuan baik dan memiliki integritas diharapkan mampu menjaring good man untuk menjalankan good system. Internal control culture hanya dapat tercipta oleh orang-orang yang memang memiliki integritas serta komitmen yang kuat terhadap pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi.

Dari tadi kita banyak berbicara tentang kata integritas. Apa sih integritas itu?, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia integritas diartikan sebagai mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran. Lantas bagaimana caranya menegakkan integritas pada lingkungan aparat pemerintah. Dalam PP 60 Tahun 2008 pasal 5 dapat dijadikan framework dalam upaya pimpinan instansi menegakkan integritas dan nilai etika, antara lain dengan:

  1. menyusun dan menerapkan aturan perilaku;
  2. memberikan keteladanan pelaksanaan aturan perilaku pada setiap pimpinan instansi pemerintah
  3. menegakkan tindakan disiplin yang tepat atas peyimpangan terhadap kebijakan dan prosedur, atau pelanggaran aturan perilaku

Apakah hanya itu? Tentu tidak. PP 60 Tahun 2008 hanya memberikan framework dan contoh penerapan minimal yang harus dilakukan. Di samping itu, pimpinan memegang peranan penting dalam penerapan SPIP yang memerlukan “keteladanan dari pimpinan” (tone at the top) yang mempengaruhi integritas, etika, dan faktor lainnya dari lingkungan pengendalian yang positif. Kebiasan buruk kita adalah cenderung untuk memenuhi syarat formal yang diwajibkan oleh aturan tertentu mengenai pelaksanaannya dipikirkan kemudian. Seperti misalnya menyusun dan menerapkan aturan perilaku, pasti seluruh instansi jika ditanya, jawabnya telah memiliki aturan tersebut. Bagaimana dengan pelaksanaan, pemantauan dan pelaporannya, masih minim.

Hal ini yang membuat risau mantan Ketua KPK Abraham Samad sehingga dalam pidatonya pada acara Konferensi Nasonal Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, beliau mencanangkan Sistem Integritas Nasional (SIN). Dalam pidatonya Abraham Samad mengharapkan adanyan upaya penguatan sistem integritas yang diterapkan di setiap tingkat elemen bangsa dan pemangku kepentingan agar pemberantasan korupsi dapat lebih sistematis, terstruktur, dan komprehensif.

Sejalan dengan hal tersebut Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara menuyusun sebuah sistem yang disebut Zona Integritas melalui peraturan Menpan Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Membangun Zona Intergritas Menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani. Di dalam permenpan tersebut diharapkan setiap instansi membangun pilot project zona integritas utamanya untuk unit-unit strategis yang melakukan pelayanan publik dan yang mengelola sumber daya besar. Dan jika kita melihat hasil dari permenpan tersebut sangat luar biasa. Ternyata kita bisa menciptakan zona integritas. Pada lini layanan pemerintah hampir seluruhnya telah diperbaiki, semua instansi pemerintah berlomba lomba untuk dapat menyediakan layanan publik yang terbaik. Banyak terbentuk layanan terpadu, layanan satu atap, perijinan online dan banyak inovasi lainnya dalam pelayanan publik. Mau perpanjangan masa berlaku STNK tidak butuh waktu yang lama satu jam selesai, mau perpanjangan SIM tinggal ke SIM Corner yang ada di pusat perbelanjaan atau bus layanan yang ada dilokasi strategis, mau urus perizinan lainnya tinggal meluncur ke layanan perizinan satu atap yang disediakan oleh pemerintah daerah. Namun di sisi lain, masih banyak pula bidang-bidang yang belum tersentuh zona integritas sehingga banyak memunculkan permasalahan-permasalahan sebagaimana kita ketahui dari berbagai media.

Efektivitas zona integritas sangat ditentukan oleh komitmen pimpinan dan seluruh jajaran pegawai di dalamnya. Berbagai success story pembangunan zona integritas di Indonesia dan di negara lainnya menunjukkan bahwa komitmen menjadi prasyarat (prerequisite) sebuah instansi yang berintegritas. Jika komitmen kuat, maka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan melayani melalui zona integritas akan menjadi sebuah keniscayaan. Selain itu juga perlu internalisasi nilai-nilai integritas pada setiap individu dalam instansi pemerintah, di mana seluruh individu menerima pengaruh dan bersedia bersikap dan berperilaku dengan penuh integritas dikarenakan integritas tersebut sesuai dengan apa yang dipercayainya dan sesuai dengan sistem nilai yang dianutnya.  Individu yang menerima pengaruh integritas menjadi berintegritas dengan penuh kepuasan.  Kepuasan menjalani integritas membuat mereka dapat bertahan dari berbagai resiko dan akan tetap merasakan kebahagiaan atas pilihan berintegritas.  Pemahaman tentang pentingnya internalisasi integritas yang lebih permanen bertahan dalam diri seseorang, membuatnya mempunyai keinginan kuat untuk mempelajari beragam teknik yang diperlukan untuk melakukan internalisasi integritas.

Akhir kata, dengan banyaknya aturan-aturan dan sistem yang telah dibuat serta semangat untuk menegakkan integritas pada diri kita masing-masing akan membawa perubahan yang signifikan bagi negara kita tercinta. Salam Integritas!!! Bisa!!!

 

*) PNS pada Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan

0
0
Bebaskan Birokrasi Dari Politisi

Bebaskan Birokrasi Dari Politisi

Pendahuluan

Keberhasilan Indonesia untuk menjadi sebuah negara yang maju, mandiri, sejahtera, adil dan makmur sangat ditentukan oleh suksesnya pelaksanaan pembangunan di daerah provinsi, kabupaten dan kota. Itulah konsekuensi logis dari penerapan sistem negara kesatuan yang didesentralisasikan. Kesuksesan Indonesia bersumber dari akumulasi kesuksesan daerah-daerah otonom dalam membangun dan dalam mengatasi permasalahan-permasalahan bangsa yang sebenarnya memang tersebar di seluruh pelosok negeri ini. Dengan bahasa yang lebih sederhana, Indonesia maju jika daerah-daerahnya maju, begitu pula sebaliknya Indonesia gagal jika daerah-daerahnya gagal.

Salah satu elemen yang sangat menentukan keberhasilan daerah dalam melaksanakan pembangunan adalah birokrasi. Sebagai pelaksana dari setiap kebijakan yang dihasilkan oleh daerah, birokrasi menempati posisi yang sangat penting dalam mengejawantahkan konsep-konsep kebijakan daerah menjadi sebuah karya yang bisa dinikmati oleh masyarakat. Di tangan birokrasi, kebutuhan masyarakat yang disampaikan lewat saluran-saluran aspirasi yang resmi terjawab sebagai program-program pembangunan.

Dengan demikian, kemajuan atau kegagalan Indonesia sebagai sebuah bangsa, sangat bergantung pada kualitas birokrasi. Kehadiran birokrasi yang profesional untuk mengurus kepentingan rakyat merupakan keniscayaan. Karena tanpa profesinalisme, birokrasi takkan mampu menjalankan fungsi dan perannya memajukan Indonesia dan mengatasi masalah bangsa di tengah alam desentralisasi ini.

Sayangnya, sosok dan postur birokrasi profesional yang bisa berkontribusi terhadap proses pemajuaan bangsa, memiliki kinerja yang tinggi, dan mumpuni dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, masih menjadi harapan yang terlalu muluk-muluk. Apalagi jika sorotan itu diarahkan pada kondisi birokrasi yang hidup di alam desentralisasi dan otonomi daerah, karena birokrasi di daerah masih tunduk di bawah kekuasaan kepala daerah dalam arti yang sesungguhnya.

Masalah Yang dihadapi Birokrasi di Daerah

Birokrasi di daerah sejak kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah berjalan efektif tahun 2001 lalu tetap berbentuk birokrasi patrimonial. Relasi politisi – birokrasi yang tidak seimbang dengan politisi berada di posisi superior dan birokrasi di sisi sebaliknya, tetap menjadi  bagian dari budaya birokrasi kita. Hal yang tidak berubah dari kondisi pada masa Orde Baru dulu. Bahkan jika diamati lebih jauh, patrimonialisme birokrasi saat ini justru semakin parah. Jika pada zaman Orde Baru, birokrasi relatif hanya terikat pada monoloyalitas politik kepada salah satu kontestan pemilu bernama Golongan Karya, dan itu terjadi secara nasional. Namun dalam era reformasi sekarang ini, loyalitas birokrasi harus diberikan kepada “siapapun” yang karena proses pemilihan langsung, tiba-tiba menjelma menjadi pejabat pembina kepegawaian.

Fenomena birokrasi patrimonial di Indonesia telah terjadi bahkan sejak Indonesia belum merdeka. Birokrasi Patrimonal menurut Eisenstadt memiliki ciri-ciri: pertama, pejabat-pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi dan politik; kedua, jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan atau keuntungan; ketiga, pejabat-pejabat mengontrol, baik fungsi politik maupun administratif, karena tidak ada pemisahan antara sarana-sarana produksi dan administrasi; keempat, setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.

Birokrasi dipolitisasi dan dimobilisasi untuk kepentingan orang tertentu. Birokrasi dipaksa melayani “pembinanya” agar bisa tetap survive. Fungsi dan peran birokrasi sebagai pelaksana kebijakan terdistorsi oleh kepentingan penguasa. Mereka disodori pilihan sulit antara menuruti keinginan kepala daerah yang belum tentu sesuai dengan etika dan aturan, atau akan kehilangan posisi dalam struktur pemerintahan. Inferioritas birokrasi semakin rentan ketika praktek transaksional terjadi dalam pemilihan dan penempatan pejabat-pejabat birokrasi. Jabatan ditawarkan dengan harga tertentu yang menciptakan pola pembinaan karier yang karut marut, tidak proporsional dan primitif.

Operasi Tangkap Tangan (OTT) Bupati Klaten beberapa waktu lalu adalah satu dari kemungkinan banyak kasus serupa yang terjadi di tanah air. Banyak orang yang meyakini bahwa fenomena itu merupakan puncak gunung es. Terjadi pada banyak daerah, namun sulit terdeteksi karena modus operandinya sangat rapi dan sulit dibuktikan. Pembina Kepegawaian yang seharusnya merupakan jabatan terhormat dan mulia, menjelma menjadi senjata yang moncongnya mengarah tepat ke jantung birokrasi.

Jika relasi politisi – birokrasi yang tidak seimbang tersebut terus terjadi di daerah, maka cita-cita luhur memajukan Indonesia melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, bisa dipastikan tidak akan pernah bisa terwujud. Karena birokrasi yang menjadi ujung tombaknya tidak bekerja untuk rakyat. Kekayaan negara yang seharusnya dimanfaatkan bagi kepentingan rakyat menguap di tangan para pemburu rente (rent seeker). Dan sebagai akibatnya, rakyat tetap tak beranjak dari ketertinggalan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, desentralisasi dan otonomi daerah hanya menguntungkan orang-orang tertentu. Bukan bangsa, bukan negara, apalagi rakyat.

Dari uraian di atas, terlihat dengan jelas bahwa superioritas politisi atas birokrasi yang terjadi di daerah mempunyai dampak yang sangat merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam upaya mencapai tujuan nasional. Untuk itu, diperlukan upaya membebaskan birokrasi dari tekanan politik yang memengaruhi kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu dalam tulisan yang singkat ini, akan dibahas tentang langkah-langkah yang harus dilakukan agar birokrasi terbebas dari tekanan politisi yang bersifat negatif.

Membebaskan Birokrasi dari Politisi

Membebaskan birokrasi dari tekanan politisi secara konseptual memang tidak mudah. Penyesuaian dan perubahan dengan berbagai regulasi harus dilakukan. Akan tetapi langkah-langkah konstruktif seperti itu harus ditempuh demi menghasilkan birokrasi netral yang bisa bekerja secara profesional bagi kepentingan rakyat secara keseuruhan.

Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah meninjau status pejabat pembina kepegawaian yang diberikan kepada kepala daerah. Pejabat Pembina Kepegawaian adalah pejabat yang diberikan wewenang untuk melakukan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS. Di daerah provinsi, kabupaten dan kota, jabatan itu berada di tangan Kepala Daerah.

Sebenarnya penyematan jabatan sebagai pembina kepegawaian kepada kepala daerah merupakan konsekuensi dari pelaksanaan desentralisasi administrasi. Harapannya, kepala daerah yang telah menerima pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat memiliki kewenangan yang cukup untuk melakukan pengaturan dan penataan birokrasi di daerah bagi kepentingan masyarakat setempat. Akan tetapi dalam perkembangannya, jabatan itu justru dimanfaatkan oleh sejumlah kepala daerah untuk memuluskan praktek kolusi dan nepotisme di dalam penyusunan struktur organisasi dan penempatan pejabat-pejabat birokrasi dalam jabatan struktural.

Kewenangan yang terlalu besar memang cenderung mendorong pemegangnya melakukan penyelewengan. Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely (Lord Acton). Berdalih karena perbedaan visi, atau untuk mengembalikan pengeluaran selama proses pilkada, kepala daerah memanfaatkan kewenangannya itu untuk menekan birokrasi atau menggunakan birokrasi untuk kepentingan pribadi dan golongan. Melakukan praktek-praktek tidak terpuji terhadap birokrasi, yang ujung-ujungnya merugikan implementasi kebijakan daerah.

Solusi sederhana yang ditawarkan untuk mengatasi hal tersebut adalah meninjau kewenangan kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian. Kewenangan mengangkat, memindahkan dan memberhentikan aparat dalam jabatan struktural sebaiknya ditempatkan pada sebuah lembaga (semacam KASN) yang dibentuk di daerah. Untuk menjamin kinerja birokrat, lembaga tersebut secara obyektif melakukan seleksi dan mutasi secara obyektif dalam usaha menyediakan tenaga-tenaga ahli dan kompeten bagi pencapaian visi dan misi kepala daerah selama masa jabatannya.

Yang kedua dengan mendorong peningkatan profesionalisme birokrasi sehingga memiliki kemampuan yang “tidak tergantikan”. Perlakuan politisi terhadap birokrasi seperti itu biasanya terjadi karena adanya oknum aparat birokrasi yang berkualitas rendah. Bagi birokrat seperti itu, situasi tersebut dapat menjadi jalan yang lebih mudah dalam mendapatkan promosi dan perbaikan nasib. Ironisnya, pegawai negeri dengan kualifikasi rendah seperti itu masih menjadi bagian terbesar dalam struktur birokrasi di daerah. Bahkan seleksi terbuka yang dilakukan berdasarkan UU ASN dewasa ini, cenderung hanya lebih memudahkan kepala daerah dalam melegitimasi praktek spoil system di dalam tubuh birokrasi.

Optimalisasi kemampuan birokrat sampai pada level tertentu akan menanamkan rasa percaya diri yang tinggi di kalangan birokrat sehingga mengurangi keinginan untuk “menyembah” kepada kepala daerah hanya untuk sebuah posisi dalam struktur pemerintahan. Yang terbaik tentu saja adalah ketika seluruh pegawai berada pada kualitas yang rata-rata tinggi sehingga secara kumulatif, dibawah pimpinan seorang birokrat senior bisa memiliki posisi tawar yang tinggi sehingga tidak mudah terkooptasi. Birokrasi yang profesional, bisa menjadi penasehat bagi politisi dalam perumusan dan pembuatan kebijakan daerah. Dengan integritas dan kompetensi yang mumpuni, relasi politisi – birokrasi yang terbentuk di daerah dapat berjalan harmonis dalam posisi yang setara.

Kesimpulan

Politisi dan Birokrasi merupakan dua dari sejumlah elemen yang membentuk sebuah sistem politik.  Di daerah, kavling politisi dihuni oleh kepala daerah dan wakilnya, serta pimpinan dan para anggota DPRD. Mereka inilah yang bertugas sebagai pembuat kebijakan. Sedangkan kavling birokrasi, diisi oleh para birokrat yang kemudian disematkan label sebagai pelaksana kebijakan. Penyusunan dan pembuatan kebijakan adalah proses politik, selebihnya, adalah proses administrasi yang menjadi tanggung jawab birokrasi. Dari sini sebenarnya terlihat bahwa antara kedua posisi tersebut terdapat kesetaraan. Keduanya berdiri sejajar untuk saling melengkapi satu sama lain. Politisi tidak mungkin bisa mewujudkan kebijakan-kebijakannya terhadap rakyat jika tidak dilaksanakan oleh birokrasi, dan sebaliknya birokrasi tidak bisa bekerja secara terarah jika tidak dipandu oleh rumusan kebijakan yang dibuat oleh politisi.

Kedua elemen ini harus bersinergi membentuk jalinan kerja sama yang harmonis untuk melahirkan kebijakan yang bermanfaat bagi rakyat. Apalagi dalam situasi tertentu, proses perumusan dan pembuatan kebijakan akan berjalan lebih efektif ketika birokrasi yang berisi orang-orang ahli di bidangnya turut berkontribusi. Sehingga tidak seharusnya politisi mengkooptasi birokrasi bagi kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

 

 

1
0