Dilematika Birokrat Daerah “Melayani” Pemimpin Inovatif

Dilematika Birokrat Daerah “Melayani” Pemimpin Inovatif

Siapa yang tidak mengenal sosok Risma, Ridwan Kamil, Nurdin Abdullah, Azwar Anas, Dedi Mulyadi, Suyoto, Danny Pomanto, atau Hasto Wardoyo? Dalam peradaban kamera seperti saat ini kita mengenal figur-figur tersebut karena kiprah kepemimpinan inovatif di daerahnya. Saya yakin masih banyak tokoh pemimpin daerah lainnya yang memiliki segudang prestasi yang belum tersorot media.

Tidak bisa dipungkiri, Inilah bukti bahwa pilkada secara langsung di era otonomi daerah mampu melahirkan karakter-karakter kepemimpinan seperti mereka yang bekerja keras demi kesejahteraan masyarakatnya. Dibantu media, mereka dikenal masyarakat luas dan menambah  daftar panjang brand kepemimpinan di negeri ini.

Karya para pemimpin inovatif daerah tersebut benar-benar dirasakan secara nyata oleh masyarakat dan menjadi model untuk daerah lainnya. Salah satunya adalah Lombok. Ketakjuban saya pada infrastruktur jalan di sana membuat saya tak henti-hentinya berdecak kagum setiap melewatinya. Jalannya lebar-lebar, kondisinya mantap, dan terjaga kebersihannya. Kota-kota utama dan tempat wisata yang saya kunjungi dari lima pemda di sana terhubung oleh fasilitas jalan seperti itu.

Pembangunan jalan di sana sepertinya diutamakan untuk mendukung target kinerja angka kunjungan wisatawan. Melalui strategi pengembangan sektor pariwisata, NTB telah mampu menembus sekat-sekat egosektoral pembangunan yang selama ini terjadi di antara pemda di sana.

Ini adalah salah satu contoh kiat kepemimpinan di daerah tersebut yang mampu menghadirkan sinergitas antar pemimpin daerah demi kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakatnya.

Berbeda dengan sektor privat, ketiadaan inovasi di sektor publik tidak akan membuat pemda gulung tikar. Ketidakmampuan para pemimpin daerah menciptakan inovasi-inovasi tersebut hanya akan mengakibatkan kondisi masyarakat di daerah itu tidak cukup sejahtera atau tertinggal dalam menikmati kesejahteraan dibandingkan dengan masyarakat di daerah lainnya yang pemimpinnya inovatif.

Oleh karena itu, isu kepemimpinan harus menjadi perhatian utama masyarakat dalam menentukan pemimpin daerahnya melalui pilkada secara langsung.

Tentu saja kinerja para pemimpin inovatif tersebut tak lepas dari kerja birokrasi di belakangnya. Para profesional birokrat pemda dituntut oleh pemimpin inovatif daerah untuk mampu menerjemahkan, mengaplikasikan, dan mengawal visi, kebijakan, dan agenda inovatifnya.

Tuntutan tersebut tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi para profesional birokrat di daerah karena kendala klasik seperti keterbatasan sumber daya dan kapasitas organisasi dalam menjawab tuntutan tadi. Terutama kesiapan kompetensi para profesional birokrat yang mampu memberikan back up kepada pemimpin inovatif daerah melalui kemampuan mencari dan keahlian menganalisis serta merumuskan landasan hukum kebijakan inovatif pemimpin daerah yang sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kebijakan-kebijakan inovatif para pemimpin daerah tersebut secara substansi cenderung menabrak ketentuan-ketentuan yang berlaku, atau kebijakan inovatif itu untuk saat ini belum diakomodir oleh ketentuan yang ada.

Ketentuan yang ada memang seringkali tertinggal jauh dengan perkembangan inovasi itu sendiri. Padahal inovasi adalah satu-satunya pilihan yang mau tidak mau harus diambil agar permasalahan yang ada di masyarakat dapat cepat diatasi.

Dalam konteks kekuasaan, keberhasilan dalam menjalankan kebijakan inovatif juga dapat menjadi sarana bagi incumbent untuk meraih dukungan masyarakat sehingga dapat dipilih kembali menduduki jabatan yang prestisius itu.

Dalam konteks seperti itu, para profesional birokrat daerah menghadapi dilema ketika mereka menyadari bahwa kebijakan inovatif pemimpin daerah kurang sejalan dengan ketentuan yang berlaku.

Di satu sisi, para profesional birokrat tersebut harus mensukseskan kebijakan inovatif pemimpin daerah sesuai dengan keinginan pemimpinnya. Di sisi lainnya, birokrat daerah harus bekerja berdasarkan prosedur ketat dan mengikuti aturan-aturan berlaku yang tidak memungkinkannya dapat secara langsung melaksanakan kebijakan inovatif tersebut.

Bahkan jika hal itu tetap dijalankan, justru akan membahayakan bagi pemimpin daerah dan para birokrat itu sendiri. Yang dikuatirkan, para pemimpin daerah tidak semuanya mau memahami problematika seperti itu.

Meski undang-undang tentang administrasi pemerintahan membuka peluang pengambilan diskresi oleh pejabat pemerintahan, namun banyak dari mereka yang masih gamang dan takut menempuh jalan itu karena belum adanya petunjuk teknis terkait pelaksanaannya.

Sementara itu untuk menyenangkan pemimpin daerah, banyak profesional birokrat lainnya terjebak dalam keputusan diskresi yang salah dan membawanya pada kehidupan baru di dalam jeruji besi dan harus kehilangan segalanya.

Pengalaman saya berinteraksi dengan pemda, banyak kebijakan inovatif pemimpin daerah yang membuat para petinggi birokrat kebingungan. Sebagai contoh, pemberian subsidi layanan tv kabel untuk masyarakat miskin; bantuan pakaian dan perlengkapan sekolah bagi seluruh siswa; bantuan bagi tamatan SMA/SMK/MA yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi; bantuan bedah rumah; bantuan uang duka bagi masyarakat; bantuan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat paska berlakunya BPJS; jaminan kecelakaan bagi warga masyarakat; bantuan kematian bagi masyarakat; bantuan penyambungan baru PLN dan PDAM; bantuan  ternak, sarana produksi dan modal usaha kepada perseorangan; bantuan makanan dan minuman kepada pengguna jasa penyeberangan laut yang mengalami keterlambatan; pemberian bantuan/hadiah umrah/berhaji kepada pegawai berprestasi; dan masih banyak sederet kebijakan inovatif lainnya.

Kebijakan inovatif tersebut tentu saja disambut baik oleh masyarakat dan celakanya mereka kini tengah menanti-nanti realisasi dari janji-janji kampanye pemimpin daerahnya itu.

Nah, apa yang akan dilakukan oleh para profesional birokrat pemda agar kebijakan pemimpin daerah tersebut tetap dapat berjalan? Penyelesaian melalui perubahan peraturan perundang-undangan yang sejalan dan mendukung inovasi -jika hal itu memang memungkinkan- tentu akan memerlukan waktu lama.

Solusi lainnya, para profesional birokrat diharapkan mampu menyampaikan alternatif gagasan kebijakan lainnya yang dilandasi dengan ketentuan yang berlaku namun mampu menjawab permasalahan yang ada di masyarakat, meskipun dalam beberapa hal tidak bisa sepenuhnya memuaskan keinginan para pemimpin daerah.

Sebagai contoh, pada kebijakan pemberian bantuan modal kerja dan sarana produksi kepada pemuda yang masih menganggur, para profesional birokrat dapat memberikan masukan kepada pemimpin daerah agar para pemuda yang belum memperoleh pekerjaan tersebut membentuk kelompok usaha bersama. Mengapa harus dibentuk kelompok, karena peraturan perundang-undangan tidak memungkinkan bantuan (hibah) tersebut diberikan kepada individu. Dengan dibentuknya kelompok, maka bantuan (hibah) tersebut baru bisa diberikan.

Melalui kelompok usaha bersama tersebut, para pemuda yang masih menganggur akhirnya memperoleh pekerjaan dengan bantuan dari pemda berupa modal kerja, sarana produksi, dan pelatihan. Melalui kelompok usaha bersama yang mendapatkan pembinaan secara intensif oleh pemda, para pemuda itu didorong untuk belajar dan meningkatkan kemampuan berusahanya secara bersama-sama, sebelum akhirnya mereka masing-masing mampu berusaha secara mandiri.

Agar lahir alternatif-alternatif gagasan kebijakan yang inovatif dan solutif tanpa harus melanggar ketentuan yang berlaku, maka prosesnya diupayakan dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan berbagai unsur birokrasi pemerintahan terkait, termasuk jika perlu mengikutsertakan lembaga pengawasan internal dan eksternal. Hal ini diperlukan agar diperoleh berbagai masukan yang memiliki cara pandang yang beragam.

Jika tidak memungkinkan pilihan-pilihan itu dilakukan, maka para profesional birokrat dituntut berani menyampaikan kondisi yang sebenarnya kepada pemimpin daerah.

Para pemimpin inovatif daerah diharapkan juga dapat memahami situasi yang demikian. Kebijakan inovatif yang mereka putuskan juga sedapat mungkin mempertimbangkan kesulitan para profesional birokrat dalam menjalankannya karena terbentur oleh ketentuan yang ada. Tentu saja hal ini tak terlepas dari gaya kepemimpinan yang dipraktikkan oleh pemimpin daerah.

Pemimpin inovatif daerah yang terbiasa mengambil keputusan secara otokratis ditambah intensitas relasi dengan birokrasi di bawahnya relatif kurang, dan lebih menyukai pendekatan transaksional dalam memimpin cenderung mematikan daya kreatifitas para profesional birokrat dalam rangka menemukan alternatif gagasan kebijakan inovatif lainnya yang sesuai atau setidaknya mendekati keinginan pemimpin daerah serta sejalan dengan ketentuan yang berlaku.

Pemimpin daerah yang demikian, sekalipun kebijakan-kebijakan yang diambilnya sangat inovatif, kurang mendapatkan dukungan (baca: terpaksa) dan menimbukan tekanan kinerja yang berat bagi para profesional birokrat di bawahnya. Di sisi lain, pendekatan kepemimpinan seperti itu akan berpotensi menuai resiko di kemudian hari yang akan membahayakan dirinya, termasuk para profesional birokrat sendiri.

Sebaliknya, kepemimpinan partisipatif yang memberikan kepercayaan yang tinggi dalam pengambilan keputusan kepada birokrasi di bawahnya serta mengaplikasikan pendekatan transformasional dalam memimpin akan mendorong semangat dan gairah para profesional birokrat dalam berinovasi namun masih dalam koridor peraturan yang berlaku, serta mengurangi potensi resiko yang membahayakan bagi dirinya dan para profesional birokrat di bawahnya di kemudian hari.

Tipe kepemimpinan partisipatif dan transformasional akan lebih membantu para profesional birokrat dalam menjalankan perannya dan mengurangi tekanan dalam bekerja di lingkungan birokrasi yang pada akhirnya mampu mendorong terwujudnya kebijakan inovatif pemimpinnya.

 

 

 

2
0
Pengembangan Organisasi Birokrasi: Pengendalian Manajemen dalam Relasi Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal

Pengembangan Organisasi Birokrasi: Pengendalian Manajemen dalam Relasi Pengawasan Internal dan Pengawasan Eksternal

Perspektif awal organisasi ppemerintahan di Indonesia dikembangkan dan dapat dijelaskan dengan teori The Classical Model. Benar dan relevankah demikian ? Kandungan nilai teori ini fokus pada anggota organisasi yang dipandang sebagai physiological unit, organisasi cenderung memiliki sudut pandang ibarat sebuah “mesin” dengan perubahan antar bagiannya, dan di mana regulasi dan tugas pokok dan fungsi yang diemban dalam organisasi cenderung diperlakukan sebagai komponen dari dinamika fungsi “machine theory”.

Fenomena ini berkorelasi dengan cara untuk suatu re-organisasi di lingkungan pemerintahan (pusat dan daerah) yang kadang kala sarat dengan  kekuasaan yang dominan dan mengalahkan nilai relevansi dari keputusan. Nilai organisasi pemerintah dengan Bureauctaric control  sebagai  tipikal  pengendalian  manajerial dalam  organisasi  dikemukakan sesuai karakteristiknya. Pengendalian birokrasi berkarakter karena menggunakan aturan formal, standar, hirarki, dan otoritas dengan legitimate. Works best where tasks are certain and workers are independent”.

Masih relevankah nilai-nilai kehidupan organisasi dengan karakteristik model klasik dan birokratis  dengan karakteristik mekanisme  yang ada ?

Berbeda dengan tujuan luhur NKRI, di mana organisasi pemerintah memberikan peran pembangunan, melalui TUPOKSI yang dibangun, menuju “social welfare”. Baik pada Pemerintah Pusat dengan APBN maupun Pemerintah daerah dengan APBD, dan di mana regulasi menjadi “core” dari manajemen organisasi dalam menuju hasil pembangunan.

Justru, dalam realitas organisasi pemerintahan di Indonesia terdapat kejelasan  proses yang melembaga dari kehidupan organisasi, di mana keberlangsungan kehidupan organisasi sebagai alat mencapai tujuan yang dilandasi  prinsif formal.

Karakeristik dengan eksistensi  divisi SDM sebagai kumpulan pegawai dengan dan tugas khusus setiap unit. Hal ini menjadi semakin abstrak karena adanya “embel-embel” PNS sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Dimanakah syarat kompetensi dan profesionalisme dengan konteks yang ada.

Regulasi yang bersifat “ex ante” sebagai acuan pelaksaaan yang bersifat preventif, dan regulasi “ex post” yang bersifat punitive, digunakan dalam menilai “reward and punishment” pelaksanaan manajemen organisasi dalam mencapai tujuan.

Dalam perspektif peran regulasi, Saudagaran and Diga (2000) mengemukakan  effectiveness  of  enforcement  and  quality of financial reporting. Sesuai proposisi tersebut, suatu implikasi peran regulasi pelaporan keuangan (financial reporting regulation) misalnya, dapat diberlakukan dengan  penggunaan  metode preventive (ex ante) dan  metode punitive  (ex post). Sebagai deskripsi, suatu Stándar akuntansi adalah representasi dari metode preventive dalam menjaga praktek akuntansi yang representatif.

Konsep punitive bermakna sebagai regulasi yang diaplikasikan untuk dasar acuan pelaksanaan audit, reviu pemerintah secara periodik, supervisory, persyaratan audit committee,  persyaratan  legal  untuk kecukupan pengendalian  internal, dan pendekatan regulatif sebagai  acuan  penilaian atas pelaporan keuangan  yang  telah  disusun,  yang  dinilai dalam kepatuhannya sesuai isi dari berbagai bentuk regulasi. Pemberlakuan metode dalam akuntansi dan pelaporan keuangan organisasi berkaitan dengan pemenuhan asas-asas pengelolaan keuangan negara/daerah pada sifat, cara-cara, tanggungjawab, dan terintegrasi.

Diperlukan sistem pengendalian manajemen,  dan pengawasan internal dan eksternal untuk meyakinkan suatu tujuan dapat dicapai. Kemudian, terkait piramida pengendalian untuk setiap unit pelaksana dengan seorang atasan yang hirarkis, kesatuan komando, dengan sentral pengendalian top down, maka penilaian suatu relasi vertikal dan horizontal pengawasan diperlukan dalam meyakinkan pengendalian manajemen tercapai.

Tulisan ini memberikan deskripsi terkait tantangan organisasi Pemerintahan dengan tuntutan “good governance” yang sejatinya memberi inspirasi untuk pengembangan organisasi dengan batas struktur, operasional, dan informasional yang bernilai socio serta akuntable. Kejelasan proses (process clarity) organisasi yang sesuai dengan kejelasan tujuan (goal clarity) dapat membentuk kejelasan peran (role clarity) organisasi pemerintahan dalam pokok pembangunan nasional menuju “Social welfare”.   

Perspektif model klasik yang dinilai sudah tidak dapat merawat nilai socio tentunya tidak dapat dipertahankan, dan juga untuk kejelasan tujuan “social welfare” memerlukan kejelasan dalam ukuran kinerja dan “impact” pembangunan yang hakiki. Hal ini memerlukan perspektif teori yang lebih relevan sebagai alat penjelas, pengendali dan prediksi dalam manajemen organisasi.

Konteks pandangan Human Behavior in the Social Environment” (RE Anderson &IRL Carter, 1984), dikemukakan dalam menegaskan perjalanan dari teori dalam kaitan dengan organisasi pemerintahan dan lingkungannya ke depan. Dimanakah peran pengendalian organisasi pemerintahan sebagai sisi dominan manajemen, relasinya dengan pengawasan internal dan eksternal.

Milestone Teori:

Pergeseran dan perkembangan isi dan bentuk teori memberikan inspirasi dalam penetapan regulasi dan implementasi kebijakan organisasi pemerintah. Teori atau alat penjelas, alat pengendali dan alat prediksi praktek organisasi Pemerintahan dan padanannya dalam bentuk regulasi adalah suatu relasi dari pemicu lingkungan yang berkembang, sehingga menyertakan sudut pandang (point of view)  dengan tujuan dan nilai yang disertakan dalam kehidupan organisasi. Regulasi pengendalian manajemen dan relasinya dengan pengawasan internal dan pengawasan eksternal adalah ranah teori yang juga menjadi dimensi formal dari regulasi yang melatarbelakangi kehadiran sistem pengendalian dan sistem pengawasan tersebut dalam organisasi.

  • Perspektif : The Human relation Theory

Pandangan ini dikembangkan dalam pemikiran Organisasi sebagai serangkaian proses sebagai suatu komunikasi, partisipasi, dan leadership (Elton Mayo, 1945, Roerhlisberger & Diclison, 1947, Teori Z: William G Ochi, 1981). Bertumpu pada kelemahan “Machine theory” (The Classical Model) yang  tidak mampu menerangkan perilaku dalam organisasi, memberikan perspektif  the Human relation Theory mengambil tempat dalam koherensi, korespondensi, pragmatism dari fenomena kehidupan organisasi. Organisasi pemerintah dalam prosesnya menerapkan struktur kerengka regulasi dan kerangka anggaran, namun sebenarnya dalam implementasinya sangat membutuhkan kerangka konseptual. Kerangka konseptual memberikan penguatan pada lingkungan implementasi kebijakan untuk setiap keputusan layanan dan pembangunan yang dilakukan organisasi pemerintah. Kerangka konseptual dapat menekan dominasi kekuasaan yang dijabarkan dalam manajemen organisasi. Kerangka konseptual menjadikan berbagai  keputusan  akan bernilai socio dan berkeadilan, karena nilai kebenaran dan kebaikan menyertai pandangan teori dari kerangka konseptual terkait. Sementara secara formal kerangka regulasi yang bersifat “ex ante” dan “ex post” diperlukan dan sebagai bagian manajemen dalam menjelaskan, mengendalikan dan memprediksi praktek organisasi ke depan.

  • Perpektif : Structuralist or Conflict Theory

Kemajuan teknologi menjadi bagian dari kehadiran teori ini. Perspektif teori ini fokus pada kepentingan dari susunan pekerjaan dalam organisasi, terutama adanya fenomena dari pengaruh teknologi yang digunakan dalam industri, Socio-technical aspects dengan “cybernetics”. Hal ini mempengaruhi cara pandang organisasi pemerintahan dalam menerapkan gaya manajemen organisasi. Bahkan, untuk suatu konflik dalam organisasi sebaiknya dipandang bukan sebagai “problem”, namun sebenarnya, konflik dapat menghasilkan keseimbangan organisasi. Konflik yang dikelola dapat menimbulkan kesatuan organisasi yang kokoh. Substansi dari isi dan bentuk teori ini mengakui adanya “inevitability” dari konflik dalam organisasi. Bahwa organisasi dipandang sebagai sesuatu yang besar, kesatuan sosial yang kompleks, dalam mana banyak kelompok berinteraksi. Dalam organisasi pemerintah, nilai dari teori ini dapat memberikan keseimbangan dalam menempatkan kebenaran di atas kekuasaan formil. Substansi kebenaran yang dihadirkan dari regulasi, tentu akan bermakna jika anggota organisasi diberikan situasi “fairness”, “equality” dan peluang untuk berkembang secara inklusif.  Upaya membangun akuntabilitas dalam good governance ditandai dengan penerapan berbagai proses dan juga struktur organisasi manajemen berbasis IT. Hal ini dipenuhi seperti untuk aktifitas e-procurement, e-budget, di mana CBISs telah diadopsi sebagai alat dan cara manajemen organisasi pemerintah.

  • Perspektif: Neo-classical or Decision Theory

Teori ini fokus pada pencapaian yang rasional atas berbagai alternatif keputusan. Menerima adanya perbedaan horizontal dalam tujuan ataupun perbedaan “level of Decision atau reflected hirarkhi dalam organisasi”. Membedakan policy making dengan policy implementation. Implikasi teori ini pada organisasi pemerintah adalah sangat signifikan. Setiap proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan telah disertai dengan ukuran kinerja. Korespondnesi teori ini pada organisasi Pemerintah adalah seperti terkait penetapan komitmen dengan “Standar Pelayanan Minimal/SPM (PP No. 65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal). Dalam prinsip-prinsip anggaran kinerja (Kepmendagri No 29 Tahun 2002), tahap perencanaan ukuran kinerja ditetapkan top down, dari dampak, manfaat, hasil, luaran, porses, dan input. Sementara untuk tahap pengukuran kinerja ditetapkan dan dilaksanakan secara buttom up. Bahkan dalam keterkaitan yang  fokus pengukuran kinerja telah dilakukan perubahan atau orientasi dari focus, yaitu pergeseran dari: “Besarnya Jumlah Alokasi Sumber Daya yang ditetapkan  “menuju” hasil yang dapat dicapai dari penggunaan sumber daya tersebut”.

  • Perspektif :The Systems Model

    Organisasi adalah natural wholes sesuatu yang organisme, di mana  pencapaian tujuan adalah alasan mendasar untuk eksistensi organisasi, adanya perubahan structural yang akumulatif. Tanggapan adaptasi untuk mencapai keseimbangan dari organisasi lebih dari sekedar rasional, tetapi mengakui adanya tujuan perilaku, seperti pandangan  “Gouldner: natural system model”. Setiap “stakeholders” organisasi pemerintah memiliki prioritas kepentingan dengan struktur dan proses pencapaian tujuan organisasi. Mendekatkan “analisis stakeholders” terkait suatu isi kegiatan layanan /pelaksanaan pembangunan (program, proyek, kegiatan, aktifitas) diperlukan dalam efektifitas menggunakan kerangka anggaran dan kerangka regulasi. Dalam konteks kelembagaan, suatu teori adalah kerangka konseptual yang mendukung implementasi kebijakan pembangunan yang dilaksanakan organisasi pemerintah. Pandangan teori ini relevan dengan kondisi geografis NKRI. Kebutuhan untuk pandangan menyeluruh terhadap NKRI adalah sesuatu yang holistic. Suatu dokumen RPJP, RPJM, Renstra, adalah cara pandang holistic dari eksistensi organisasi.

Milestone Manajemen

 Milestones dari perspektif teori yang berjalan dalam dimensi waktu menyertai perkembangan sikap dari organisasi pemerintahan menerima perubahan gaya manajemen dan implementasinya.

 Tabel 1

Milestone Manajemen

NO Periode Perhatian Aspek
1

2

 

3

 

4

5

 

6

 

7

 

8

1910-1935

1935-1955

 

1955-1970

 

1970-1980

1980-1985

 

1955-1990

 

1990-….

 

1997-….

-Fungsi Organisasi

-Mekanisme Produksi & Efisiensi Operasi

Pengendalian Terhadap Semua Variabel

Posisi yang kompetitif

Performansi yang super

 

-Adaptasi pada perubahan yang cepat

Globalisasi (ref: betindak lokal vs berfikir global)

Good Governance

Struktur

Produktifitas

 

Sistem (struktur dan proses)

Strategic Planning

Pembentukan budaya perusahaan /organisasi

Manajemen Inovasi

 

Teknologi Informasi & Telekomunikasi

Akuntabilitas dan kinerja Organisasi

 (Diolah, dari berbagai sumber, 2016)

Setiap tahap dari perkembangan manajemen organisasi dalam periode di atas, memberikan pengaruh dalam sistem organisasi pemerintah dan operasionalnya. Hampir keseluruhan pusat perhatian dan aspek kelolaan telah diadopsi ke dalam sistem organisasi pemerintahan.  Implikasinya pada tipikal sistem pengendalian manajemen dan sistem pengawasan internal yang berkembang dalam manajemen organisasi pemeritahan.

Perspektif  NKRI dalam konteks milestones sebelum dan sesudah otonomi daerah menjadi bagian yang dapat dideskripsikan dalam kaitan dengan perkembangan sistem pengendalian organisasi pemerintahan.

  1. Era Soekarno (1945 – 1966): UUD RI 1945 (article: 18); UU No 1 of 1957

Bentuk Otonomi “ Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) dengan “As Extensive Autonomy as Possible “ terkait 3

level/tingkat pemerintahan.

2.  Era Soeharto era (sebelum era reformasi) :1967 – 1998: UU No 5 of 1974; Decree  No 8 of 1995 (minister of Home Affairs).        Bentuk otonomi: Substance:Centrifugal “Realistic and responsible  local autonomy”. Model desentralisasi (2 tahun                          percobaan) untuk 26 Provinsi kecuali Jakarta.  *) prioritas untuk “Second-Level Government in autonomy”

3. Reformation Era:

3.1. Era pasca Soeharto (awal era reformasi): Era otonomi (1999-2003)

UU No 22 of 1999; UU No 25 of 1999. Bentuk otonomi: Dalam merespon permintaan desentralisasi dengan “Fiscal Decentralization”. Sebagai upaya untuk “Intergovernmental fiscal relations” antara pusat dan daerah.

3.2. Era Pasca Reformasi (2004 – sekarang)

UU No 22 of 1999 digantikan dengan UU No 32 of 2004: UU No 25 of 1999 digantikan dengan UU No 33 of 2004,; Paket UU “Keuangan Negara”, yaitu:  UU  No 17 tahun  2003; UU  No 1 tahun 2004; UU No 15 tahun 2004. Bentuk otonomi: Fiscal Decentralization, Good Governance, Bagaimana mengelola APBD dengan PAD dan dana transfer sebagai Regional Budget’s Empowerement.

Sistem pengendalian dalam era pasca reformasi dengan otonomi penuh, memberikan tantangan pada bekerjanya sistem pengendalian dan sistem pengawasan yang lebih komprehensif dan relevan. Sistem pengendalian dan pengawasan dilakukan untuk organisasi pemerintahan (terkait dalam  manajemen keuangan negara/daerah). Meliputi : Tahap Perencanaan: (i) RPJM – Rencana Kerja- KUA PPAS – RKA- DIPA/DPA (APBN/APBD); (ii) Tahap Pelaksanaan : pelaksanaan anggaran dengan program /layanan pembangunan (kerangka anggaran dan kerangka regulasi); (iii) Tahap Penatausahaan : Penatausahaan Pendapatan dan Penatausahaan belanja, pembiayaan (APBN/APBD);(iv) Tahap Pertanggungjawaban: Laporan keuangan Pemerintah (Pusat /Daerah) mengacu APBN/APBD; (v) Tahap Pengawasan : Katalisator melalui pengawasan internal, pembinaan melalui pengawasan eksternal. Prinsip dasar dalam sistem pengendalian internal yang dilakukan manajemen/eksekutif Pemerintahan adalah dari tahap perencanaan sampai pertanggungjawaban. Sementara pengawasan sebagai fungsi dalam “supervisi, konsultasi, pedoman organisasi, diklat”, dilakukan menyertai setiap tahap pengendalian (pre-current-post control).

Implementasi Sistem Pengendalian Organisasi

Konteks sistem pengendalian yang diaplikasikan dalam organisasi, dapat dideskripsikan dengan 2 (dua) himpunan sistem  pengendalian, yaitu pengendalian yang bersifat formal dan informal. Terdiri dari sub system: Control process, infrastructure, coordination and integration, Managemen style and culture, Reward and informal rewards. Setiap sub sistem dijabarkan pada sistem pengendalian formal dan sistem pengendalan informal. Komponen yang dibentuk adalah aktifitas dalam sistem manajemen organisasi.

  • Control process dengan sistem pengendalian formal: Components:Strategic planning: Capital budgeting, Operation Planning: cost accounting, Budgeting, Reporting-Systems: Strategy/Project Management, Operations/variance analysis. Control process dengan sistem pengendalian informal: Components: Search/alternative generation: Ad hoc as needed, Uncertainty coping, Rationalization/dialogue.
  • Infrastructure dengan system pengendalian formal: Components: Organization structure: Strategy, Operations, Patterns of autonomy, Measurement methods. Infrastructure dengan sistem pengendalian informal: Components: Personal contacts Emergent roles.
  • Coordination and integration dengan sistem pengendalian formal: Components: Formal conference, Involvement techniques. Coordination and integration dengan system pengendalian informal: Components: Based upon trust, Telephone conversations, Personal Memos
  • Management Style & Culture dengan system pengendalian formal: Components: Prevailing-style: External/internal/mixed, Principal values: Norms and beliefs. Management Style & Culture dengan sistem pengendalian informal: components: Prevailing-style, External/internal/mixed, Principal values: Norms and beliefs.
  • Rewards-Informal Rewards dengan sistem pengendalian formal: Components: Individual and group, Short term and long term, Promotion policy. Rewards-Informal Rewards dengan sistem pengendalian informal: Components: Recognition, Status oriented, Personal contact.

          (Adaptive Control Systems: Two Sets of Mutually Supportive Systems, Sumber: Maciariello  A J & Kirby J C, 1994: 9-10)

Sistem  pengendalian manajemen adalah prosedur rutin yang formal yang digunakan  manajer   untuk  menjaga  atau  mengubah  pola dalam aktifitas-aktifitas  organisasi. Sistem pengendalian manajemen  memiliki 2 (dua) kegunaan, dalam menyediakan  informasi  yang  berguna  untuk  manajemen  dan  membantu  untuk  meyakinkan  pola  yang tetap berlangsung pada perilaku anggota organisasi  dalam  mencapai  tujuan  organisasi.

Sistem pengendalian manajemen yang diterapkan pada organisasi oleh manajemen pemerintahan adalah bersangkutan saat program/proyek/kegiatan dan aktifitas on going controlling. Dalam hal ini penerapan pengendalian manajemen fokus untuk meyakinkan pada pencapaian tujuan organisasi. Pengendalian diterapkan oleh satuan kerja atau manajemen organisasi yang bersangkutan dalam meyakinkan pencapaian tujuan organisasi.

STAN (2007) mendeskripsikan pengendalian manajemen adalah bermakna sama dengan pengendalian internal  organisasi. Pengertian pengendalian intern, dikemukakan sesuai COSO (1992), selaras dengan Peraturan BPK Nomor  1/2007 (SPKN), dan juga sesuai SPIP (2008). Pengendalian intern, yang sering juga disebut pengendalian manajemen, dalam pengertian yang paling luas mencakup  lingkungan pengendalian, penilaian resiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, dan pemantauan. Pengendalian intern melekat pada setiap proses antara lain perencanaan, pengorganisasian, maupun operasional program/proyek/kegiatan/aktifitas. Pengendalian intern juga berfungsi sebagai lini depan untuk menjaga aktiva dan mendeteksi terjadinya kesalahan, kecurangan, penyimpangan dan ketidakpatuhan  terhadap  ketentuan peraturan perundang-undangan.  Dalam konteks tujuan akuntansi dan pelaporan keunagan, SPIP yang merupakan bagian  dari  perspektif  pengawasan nasional, yang sesuai Pasal 31 UUKN  mengatur Gubernur /Bupati/ Walikota bertanggungjawab  atas APBD.  Hal yang sama berlaku pada tataran Pemerintah Pusat dalam pertanggungjawaban APBN. Implikasi pada tataran nasional adalah mekanisme  laporan  keuangan yang diperiksa BPK untuk disampaikan ke DPR/DPRD. Dalam menyertai  tugas tersebut, diperlukan pengendalian intern, yang dinyatakan dalam deskripsi Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP), yaitu  sebagai:

” Proses  yang  integral pada  tindakan  dan  kegiatan  yang  dilakukan  secara terus menerus oleh  pimpinan dan seluruh  pegawai  untuk memberikan  keyakinan  yang memadai  atas  tercapainya tujuan organisasi  melalui  kegiatan  yang  efisien dan efektif, keandalan  pelaporan  keuangan,  pengamanan  aset, dan  ketaatan  terhadap peraturan  perundang-undangan” (PP No 60/2008; bab 1, Pasal 1, butir 1). Lingkup  pelaksanaan  SPIP, sesuai  fungsinya  merupakan  tipikal bureaucratic control  bagi  organisasi pemerintahan.

Sesuai konteks analisis stakeholders, organisasi Pemerintah memerlukan aspek-aspek pengembangan sistem pengendalian organisasi sebagai model normatif yang menjadi benchmark dalam mencapai kinerja pengendalian pembangunan di Indonesia.  Deskripsi dilakukan pada model pengembangan organisasi yang meliputi konteks strategik analysis, konteks sosial, konteks administratif, dan konteks teknik. Hal ini dijabarkan pada pelaksanaan pengendalian kerangka anggaran dan kerangka regulasi dalam pembangunan. Teori mendasari suatu regulasi dan implementasi kebijakan dalam pengendalian. Pengembangan sistem diimplementasikan pada stuktur dan proses sistem pengendaian, termasuk pelembagaan metode informal ke dalam bagian system pengendalian. Sistem keperilakuan melekat dalam sistem pengendalian yang dikembangkan.  Subjek pengembangan adalah pada perspektif  “Benchmark  model organisasi yang memiliki relevansi dengan acuan pilihan strategi dari pelaksanaan sistem pengendalian internal yang diperkuat relasi pengawasan internal dan pengawasan eksternal.

 

2
0
Whistleblower Dari Dimensi Etika Dan Budaya Organisasi

Whistleblower Dari Dimensi Etika Dan Budaya Organisasi

Do I stand up or stand down about this corrupt behavior?

Whistleblower atau peniup peluit identik dengan orang-orang yang membocorkan penyimpangan di dalam sebuah organisasi, baik organisasi swasta maupun organisasi pemerintah. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam organisasi atau instansi pemerintah dapat berupa penyimpangan dari nilai-nilai etika hingga berupa perbuatan korupsi. Whistleblower juga dapat merupakan justice collaborator yaitu individu yang terlibat dalam perbuatan menyimpang dan perbuatan korupsi.

Dalam hadis Nabi Muhammad SAW disebutkan barang siapa melihat kemunkaran maka hendaklah dia merubah dengan tangannya, apabila dia tidak mampu maka dengan lisannya (whistleblowing) dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya. Hadis ini menjelaskan bahwa seseorang sebaiknya mengungkapkan kepada pihak-pihak lain apabila dirinya mengetahui bahwa telah terjadi penyimpangan.

Kasus-kasus korupsi tidak akan dapat terungkap seluruhnya tanpa bantuan whistleblower dan justice collaborator. Berdasarkan 2016 Global Fraud Study yang dikeluarkan oleh ACFE tahun 2016, diketahui bahwa para whistleblower memiliki peranan terbesar dalam pengungkapan kasus fraud dan korupsi.

Pada dasarnya whistleblower sangat penting dalam pengungkapan kasus korupsi karena posisi mereka di dalam organisasi memungkinkan mereka untuk mengetahui berbagai kegiatan yang dilakukan oleh organisasi dan memiliki akses terhadap informasi-informasi di dalam organisasi. Peranan justice collaborator lebih penting lagi karena dirinya merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam kasus korupsi.

Seorang whistleblower memiliki dua sisi. Pada satu sisi, whistleblower dianggap sebagai pahlawan karena memiliki keberanian untuk mengungkapkan penyimpangan yang dilakukan organisasi pemerintah. Di sisi lain, sebagian orang dalam organisasi pemerintah menganggap whistleblower adalah pengkhianat karena telah berani mengungkapkan penyimpangan yang terjadi dalam organisasi (loyality) dan tidak memiliki semangat esprit de corps.

Berdasarkan kepada pihak mana whistleblower mengungkapkan penyimpangan yang diketahuinya, whistleblower dikategorikan menjadi whistleblower internal dan whistleblower eksternal. Kedua kategori whistleblower ini memiliki berbagai manfaat dan risiko yang berbeda.

Whistleblower internal adalah pegawai yang mengungkapkan penyimpangan kepada pihak internal organisasi (melalui saluran-saluran yang ada dalam organisasi). Dengan mengungkapkan penyimpangan secara internal, maka risiko yang dihadapi whistleblower internal lebih rendah namun ada kemungkinan tindakannya mengungkapkan penyimpangan yang terjadi tidak akan memperoleh tanggapan dari pihak-pihak internal organisasi sebagaimana seharusnya.

Whistleblower eksternal adalah pegawai yang memilih untuk mengungkapkan penyimpangan yang terjadi kepada pihak-pihak di luar organisasi. Dengan menjadi whistleblower eksternal, maka tindakannya mengungkapkan penyimpangan akan lebih cepat ditangani dengan risiko dirinya akan dimusuhi oleh pihak-pihak di dalam organisasi. Risiko-risiko yang dapat dihadapi oleh sang whistleblower antara lain:

  1. Dimusuhi, diintimidasi dan dikucilkan oleh pelaku korupsi atau oleh rekan-rekan kerjanya karena dianggap tidak memiliki kesetiakawanan dengan rekan kerja dalam satu organisasi.
  2. Dimutasi ke fungsi atau organisasi lain.
  3. Dipersulit dan dihambat karirnya.
  4. Memperoleh teror dari pihak-pihak yang dilaporkan hingga mendapatkan penyerangan secara fisik.

Whistleblower memilliki banyak dimensi, salah satunya adalah dimensi etika. Bagaimana etika memandang whistleblower? Apakah whistleblower merupakan perilaku beretika atau justru merupakan perilaku yang buruk dan tidak beretika?

Bagi aparat sipil negara, etika publik adalah pedoman dan panduan seorang aparat sipil negara dalam berperilaku dan melaksanakan ketugasannya. Etika yang dipedomani seorang aparat sipil negara harus meletakkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Dari segi etika, seorang aparat sipil negara diwajibkan untuk mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang diketahuinya karena korupsi sangat merugikan masyarakat. Berkaitan dengan alasan etika dalam situasi yang dihadapi seorang whistleblower, terdapat dua teori utama etika yaitu teori deontologi dan teori teleologi. Bagaimana kedua teori ini memandang whistleblower?

Teori deontologi memandang sebuah tindakan adalah tindakan yang bernilai baik karena tindakan tersebut dilakukan berdasarkan kewajiban yang dimiliki seseorang. Kewajiban seseorang di dalam hal ini dapat berupa kewajiban terhadap organisasi tempatnya bekerja dan kewajiban terhadap masyarakat.

Dengan demikian, seorang whistleblower memiliki dilema apakah dia akan mengutamakan kewajiban terhadap organisasinya atau kewajiban terhadap masyarakat.   Dilema dan konflik etika seorang whistleblower menjadi semakin besar ketika pelaku penyimpangan adalah atasan atau rekan dekatnya, dibandingkan dengan apabila pelaku penyimpangan adalah orang yang tidak dikenalnya dengan baik.

Meskipun demikian, teori deontologi menjelaskan bahwa mengungkapkan kebenaran adalah sebuah kewajiban dan sebuah perbuatan yang beretika. Oleh karena itu, ketika seorang aparat sipil negara mengetahui bahwa telah terjadi penyimpangan di dalam organisasi pemerintah tempatnya bekerja maka berdasarkan teori deontologi dirinya wajib mengungkapkan penyimpangan tersebut.

Teori yang kedua yaitu teori teleologi menjelaskan bahwa etis atau tidaknya suatu tindakan dilihat dari apakah tindakan tersebut dapat mencapai tujuan yang diinginkan atau tidak. Etika teleologi juga memandang baik buruknya sebuah tindakan berdasarkan tujuan apa yang hendak dicapai dari tindakan tersebut. Apabila tujuan yang hendak dicapai adalah baik maka tindakan tersebut merupakan tindakan yang beretika.

Tujuan dari whistleblowing adalah untuk menghentikan penyimpangan yang terjadi. Dalam kasus whistleblower, satu hal yang paling ditakuti oleh para whistleblower internal adalah kekhawatiran tindakan mereka melaporkan penyimpangan yang terjadi tidak memperoleh respon yang baik dari pihak-pihak lain seperti atasannya.

Dengan demikian, perbuatan sang whistleblower yang mengungkapkan penyimpangan yang terjadi dalam organisasi pemerintah secara internal kepada atasannya tidak dapat mencapai tujuannya. Hal inilah yang kemudian mendorong para whistleblower untuk mengungkapkan penyimpangan yang diketahuinya ke masyarakat umum.

Dimensi lain dalam fenomena whistleblower adalah dimensi budaya. Budaya yang berkembang dalam sebuah organisasi dapat berupa budaya etis (ethical culture) atau sebaliknya berupa budaya yang tidak etis (unethical culture). Budaya etis di dalam organisasi dibangun dalam rangka menciptakan perilaku beretika dalam organisasi tersebut. Implementasi budaya etis dalam organisasi lebih mendorong munculnya whistleblower dibandingkan dengan kebijakan dan prosedur formal sebuah organisasi  mengenai whistleblowing.

Budaya yang tidak etis mengakibatkan banyak individu yang melihat adanya penyimpangan namun memilih untuk tidak melaporkannya karena nilai-nilai etika, budaya dan perilaku kerja yang berkembang di dalam organisasi tidak mendukung. Pimpinan instansi pemerintah yang seharusnya menjadi pionir dalam pelaksanaan nilai-nilai etika justru tidak mendukung implementasi budaya etis juga turut menghambat munculnya para whistleblower.

Di samping itu, budaya yang umum berlaku di Indonesia biasanya menekankan pada kebersamaan dan persaudaraan. Hal ini menjadikan hubungan kerja antar individu-individu dalam sebuah organisasi di Indonesia cenderung menjauhi konflik antar sesama. Sebagai akibatnya para whistleblower yang berani mengungkapkan penyimpangan yang diketahuinya dengan risiko menghadapi konflik dengan pihak-pihak lain akan jarang muncul.

Whistleblower sendiri diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri. Pasal 3 Ayat 10 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 menyatakan bahwa salah satu kewajiban PNS adalah melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau Pemerintah terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil.

Apabila dalam organisasi pemerintahan terdapat kode etik yang dilaksanakan oleh semua orang, mulai dari pimpinan hingga bawahan, serta adanya dukungan pimpinan terhadap semua individu di dalam organisasi untuk selalu mengimplementasikan perilaku etis dan nilai-nilai etika maka seseorang akan lebih memilih untuk menjadi whistleblower internal. Sebaliknya ketika pimpinan tidak mendukung perilaku etis bahkan cenderung berperilaku tidak etis maka seseorang akan lebih condong mendiamkan penyimpangan yang terjadi atau menjadi whistleblower eksternal.

Kesimpulannya, whistleblower adalah sosok yang memiliki peranan sangat penting dalam pemberantasan korupsi dan keberadaannya harus didukung oleh semua pihak. Dalam mendorong munculnya para whistleblower yang berani mengungkapkan penyimpangan yang ada dalam organisasi dan instansi pemerintah, maka pimpinan instansi pemerintah harus menetapkan kode etik yang berlaku dalam instansi tersebut. Pimpinan instansi pemerintah juga harus dapat memberikan keteladanan kepada seluruh pegawai mengenai bagaimana berperilaku etis serta memberikan sanksi tegas bagi semua pegawai di organisasinya yang melanggar kode etik.

 

 

1
0